[14]-Secuil penyesalan

86 14 45
                                    

"Scary Voice." - 14

***

"... hapus jarak lo dari Alden, karena gue? Demi gue."

Sadeena dapat mendengar permintaan Wildan dengan jelas. Mata bulatnya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sama sekali tidak menemukan  adanya 'kebohongan' di mata laki-laki itu.

"Deena ...." Wildan menunggu Sadeena memberinya tanggapan.

Sebelum Sadeena sempat menjawab, suara gaduh dari arah belakang membuat keduanya terperanjat.

Sadeena berdiri, begitu juga dengan Wildan.

Keduanya saling melempar pandang. Tong sampah yang ada di ruang seni tiba-tiba terjatuh dan semua isinya berserakkan di atas lantai.

"Wildan ... lo tahu kan kalau gue masih sayang sama Alden." Mungkin sekarang ... sama lo juga.

Sadeena meneruskan perkataannya dalam hati dan yang didengar Wildan hanya penolakkan halus dari bibir Sadeena.

"Gue tahu." Wildan mengangguk. "Apa gue nggak bisa ... jadi orang yang lo sayangi?" tanya Wildan.

'Sebelum lo minta, kayaknya gue udah sayang sama lo.' Sadeena tersenyum getir. Wildan tidak akan bisa mendengar suara hatinya. Dia bebas berkata apa pun tanpa takut ketahuan. "Gue sayang kok sama lo. Sebagai teman." Tapi kok, gue nggak yakin ya? Haduh. Gue bingung.

Wildan menggaruk belakang lehernya. Menahan rasa kecewa. "Jadi jarak gue sama lo cuma sebagai teman?"

Sadeena mengangguk pelan. "Memangnya ada opsi lain selain sebagai teman?"

"Keberadaan gue buat lo, nggak bisa bantu lo lupain Alden?" Entahlah, hari ini Wildan terlihat tidak bisa me-rem emosinya. Semua yang dia pikirkan, dia katakan pada Sadeena. Dia terlampau mengkhawatirkan Sadeena.

"Gue nggak akan lupain Alden."

Mungkin Wildan harus menyesali keberaniannya hari ini, untuk pertanyaan yang tidak akan sesuai dengan harapannya sendiri. Atau, untuk perasaannya yang terpaut untuk Sadeena.

"Maaf."

Wildan menghela napas panjang. "Nggak perlu minta maaf. Kalau itu memang sulit buat lo, gue paham."

'Maaf karena gue nggak paham sama perasaan gue sendiri, Wil.'

Sadeena mengiba dalam hati. Wildan yang baik, yang selalu menolongnya, mengkhawatirkannya, hari ini, baru saja dilukai hatinya oleh orang yang selalu dia prioritaskan.

***

Wildan berjalan tanpa minat melewati troroar memanjang menuju caffe Arghi. Dia akan mengambil semua barang-barangnya dan segera mencari tempat tinggal.

Dia tidak mungkin menyusahkan Arghi lebih lama. Rasanya, banyak 'ketidak-enakkan' yang Wildan rasakan.

Dia tidak ingin merepotkan atau menjadi beban bagi orang lain.

Dentingan pintu caffe berbunyi saat Wildan masuk.

Keadaan di caffe titik teduh sesuai dengan dugaannya, sangat ramai.

Kalau Wildan tidak jalan hati-hati, dia bisa saja bersinggungan dengan pengunjung caffe.

Wildan berjuang untuk sampai di depan bartender. Di mana ada Arghi yang sedang sibuk melayani pembeli.

"Ghi, kunci gudang mana? Gue mau ambil barang-barang gue."

"Hah? Apa?!"

Arghi sepertinya tidak mendengar. Antrian memanjang dan obrolan sana-sini membuat fokusnya gampang teralih.

Scary Voice✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora