[4]-Empat mata

95 47 28
                                    

"Lo ... lagi?" Sadeena cepat-cepat menghapus sisa air matanya yang masih mengenangi pipi. Dia paksakan tubuhnya untuk berdiri meski hasilnya sedikit oleng. Untung saja rak buku di sampingnya bisa dijadikan penopang tubuh.

"Lo nggak punya rasa takut, ya?"

Sadeena diam, tidak menjawab. Membiarkan Wildan berjalan mendekat padanya.

Wildan terlihat mengembuskan napas sebelum akhirnya bersuara, "Perpustakaan ini dua minggu lagi akan ditutup. Tahu kenapa?"

"Ke ... kenapa?" cicit Sadeena. Entah kenapa bawaannya kalau di dekat Wildan ... selalu horror. Ya. Yang Sadeena rasakan begitu.

Wildan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Karena di sini nggak ada aktivitas yang berlangsung lama. Ibarat rumah yang kosong. Setiap mahkluk halus berlomba-lomba menempati perpus-,"

"CUKUP!" Sadeena menyela dengan sakali bentakkan. "Lo harus tahu kalau lo ngoceh kayak gitu lagi, gue makin takut!" pekiknya. Dengan suara bergetar.

"Siapa Alden?" tanya Wildan.

Sadeena terperangah bukan main. Dari mana Wildan tahu nama itu?

"Lo ...."

Wildan menyugar rambutnya ke belakang dengan gerakkan pelan disertai dessisan dari mulutnya. "Gue bukan penguntit. Jangan berpikir negatif."

Sadeena berdecih. Dia melipat tangan di depan dada. Menatap Wildan tak kalah menantang. "Yakin? Kok lo tahu gue di sini?"

Wildan merutuk dirinya sendiri. Berdeham lama kemudian berbicara, "Ke ... kebetulan. Ya. Gue kebetulan ke perpus, kok." ujarnya.

Sadeena memberi tatapan memicing. "Gue makin berpikir negatif kalau lo bohong."

Wildan mendesah. Menyerah. Memilih untuk mengaku. "Ok ok ... gue ngikutin lo. Gue tahu lo berantem sama temen lo. Lo nangis. Lo panggil satu nama yang ... yang sempat gua dengar. Alden. Siapa dia?"

Sadeena kembali terjaga.

Apakah sempat dirinya memanggil atau menyebut nama Alden lagi?

"I ... itu, bukan urusan lo!"

BRAK!

Wildan dan Sadeena dikejutkan dengan beberapa buku yang terjatuh.

Keduanya memandang ke sumber suara. Kamus tebal yang terjatuh itu sama dengan kamus lain yang berada di rak paling atas.

Kenapa bisa jatuh?

Wildan merasa tidak ada angin. Ruang perpustakaan ini memiliki ventilasi yang baik. Semua jendela memang dibiarkan terkunci mati.

Sadeena terlihat ketakutan kala pandanganya mengedar. "Al ... Alden."

SRRRK!

Wildan menoleh pada Sadeena. Sayangnya yang dia dapati justru wajah hancur dari makhluk halus yang semalam berhasil mencekiknya.

BAKH! BAKH!

"Wildan!" Sadeena menggigiti jari telunjuknya. Tubuhnya kaku. Mati rasa begitu melihat adegan menakutkan di depannya.

Scary Voice✔Where stories live. Discover now