B A G I A N 25 | Tentang Rasa

305 19 0
                                    

Zara kembali memulai harinya. Entah harus seperti apa dirinya hari ini.

Haruskah ia menjadi gadis yang seperti dulu seperti yang Nando dan Risya harapkan. Namun Zara merasa tidak akan semudah itu.

Segala masalah yang hadir dan cita-citanya yang harus pupus membuatnya sulit kembali seperti dulu.

Kembali seperti dulu berarti kembali berharap dan terus bercita-cita. Namun apalagi yang bisa Zara harapkan? Sekarang inilah kehidupannya.

Semakin ia berharap, ia merasa akan semakin hancurlah nanti.

Kenapa dirinya jadi seputus asa ini? Bahkan Zara pun tidak mengerti.

Zara menutup pintu kamarnya. Ia lalu menoleh ke ruang makan saat menemuikan Arkan yang duduk termenung sendirian.

"Mama udah berangkat yah, kak?" Zara bertanya.

Namun Arkan hanya diam seakan tidak mendengar. Atau memang tidak mendengar(?).

"Kak," panggil Zara, lagi. Ia menepuk pundak Arkan.

Arkan mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia lalu menoleh pada Zara. "Zara?"

"Kakak kenapa ngelamun sih?" Zara berjalan menuju dapur dan menuang air untuk ia minum.

Arkan menghela nafasnya. "Kakak harus kemana lagi, dek? Kakak bener-bener bingung."

Zara duduk dihadapan Arkan. Menatap lelaki itu dengan lekat. Setidaknya penampilan Arkan sekarang tidak seberantakan sebelumnya.

Namun Zara bisa melihat Arkan mulai kembali putus asa.

"Kakak inget nggak pas dulu lulus sekolah? Semangat kakak buat ngelanjutin perusahaan Papa bener-bener tinggi. Apa sekarang udah nggak mungkin kayak gitu lagi? Bukannya kakak udah berpengalaman dalam bisnis?"

"Dulu kakak kan tinggal ngikutin jejak Papa, dek. Tapi ternyata kak Arkan terlalu merasa di atas langit. Jadinya semuanya nggak ke kontrol. Kalau Papa masih ada di sini, beliau pasti kecewa." Arkan menunduk dalam.

Zara bangkit dari duduknya lalu berdiri di sebelah Arkan. Dia menepuk pundak kakaknya itu. Zara harus membuat Arkan kembali bangkit. Harus.

"Papa bakalan bener-bener bangga kalau kak Arkan bangkit dan kembali mulai dari nol."

Arkan mengangkat kepalanya. Ia terdiam sejenak. Adiknya itu memang benar. Namun dari mana ia harus mulai?

"Zara yakin, kakak pasti bisa. Apa kakak tega liat Mama terus kerja keras? Kakak harus cepet bangkit."

Zara tersenyum pada Arkan. Ia kembali meraih gelas yang tadi ia isi dengan air. Lalu duduk sebentar di sebelah Arkan dan meneguknya sedikit.

"Zara berangkat yah?" Zara tersenyum pada kakaknya itu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Arkan menatap kepergian Zara dengan penuh kebimbangan. Bagaimana bisa adiknya itu lebih tangguh dari dirinya? Seharusnya ia malu.

Arkan kembali menunduk dalam.

***

"Ini Dirga. Pelayan baru di sini. Afnan, Lo kayak biasa bantu jelasin ke dia apa tugas dia." Nando memegang pundak lelaki yang berdiri di sebelahnya. Sedangkan Afnan langsung mengangguk patuh.

"Mohon bantuannya," ucap Dirga.

Zara dan Afnan mengangguk singkat.

Sebelum coffee shop di buka, Nando memperkenalkan beberapa karyawan barunya.

"Nah kalau yang ini, Gibran. Dia bakal jadi barista di sini. Tapi masih pemula. Jadi dia juga bakal butuh bantuan kalian sesekali."

Sederas HujanWhere stories live. Discover now