B A G I A N 24 | Tiga Senyuman

321 20 0
                                    

"Ra, Kakak udah ngelamar kerja loh disalah satu perusahaan terbesar yang lagi terkenal itu. Kakak lagi nunggu keputusan. Kamu nggak mau nyemangatin kakak?" Arkan bertanya saat sejak tadi Zara diam saja.

Risya menatap Zara yang terlihat melamun padahal Arkan sejak tadi mengajak gadis itu bicara.

"Ra." Risya menyenggol lengan Zara.

Zara tersadar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. "Iya?"

"Kamu nggak dengerin kakak dari tadi?" Arkan tersenyum kaku.

"Em, kakak ... ngomong apa tadi?"

"Kak Arkan katanya lagi nunggu keputusan. Dia ngelamar disalah satu perusahaan besar dan terkenal." Risya mencoba menjelaskan. Memecahkan kecanggungan diantara kakak beradik itu.

"Perusahaan mana kak Arkan?" Risya bertanya. Ia terdengar antusias.

Arkan terkekeh pelan. Bahkan Risya terlihat lebih antusias dibandingkan adiknya sendiri. "Perusahaan AZ."

Deg.

Senyum di wajah Risya pudar. Begitupun Zara yang kini terlihat muram.

"Kak Arkan tau siapa CEO di perusahaan itu?" Risya bertanya dengan ragu.

"Em, pak A. Mereka sih nyebutnya gitu." Arkan terlihat tidak begitu peduli dengan CEO-nya. Lagipula tak mungkin CEO mau ribet-ribet merekrut karyawannya. Dia kan memiliki banyak staf yang bisa diperintah. Itu pikir Arkan.

"Kok bisa sih kak Arkan nggak tau CEO-nya?" Terdengar nada ketus pada ucapan Zara.

"Kamu kenapa sih, dek? Masih marah karena kak Arkan nggak bantuin kamu selama ini? Kak Arkan dulu juga kerja setiap hari dan nggak marah kayak kamu gini tuh." Arkan terlihat kesal. Ia benar-benar bingung dengan Zara. Ada apa dengan adiknya itu?

"Kakak yakin mau ngelamar kerja di sana?" Kali ini Risya menyela perdebatan Zara dan Arkan.

"Emangnya kenapa? Kak Arkan nggak pantes ngelamar kerja di perusahaan besar kayak gitu karena udah bangkrut?" Arkan masih terlihat kesal.

"Eh, maaf kak. Bukan gitu maksud Risya." Risya terlihat bingung menjelaskan pada Arkan.

"Terus apa?!" Oke, Arkan sudah cukup terbawa emosi.

"CEO di perusahaan itu Agung, kak! Lelaki yang dulu kakak hina itu." Zara mengepalkan tangannya kuat. Ia pun bingung kesal dengan siapa.

Arkan terdiam. Ia nampak terkejut dengan kenyataan itu. Juga tidak percaya. "Nggak mungkin."

"Apa yang nggak mungkin? Zara udah tau Agung tuh pekerja keras. Jadi itu mungkin. Lagipula, kenapa kak Arkan ngehina orang kayak gitu? Aku yang kena! Ngerti nggak sih kak Arkan?!" Zara menggebrak meja dihadapannya. Ia bangkit dari duduknya lalu masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.

Risya terdiam. Ia benar-benar bingung diposisi ini. Apa tidak salah yang tadi ia dengar? Bahkan dalam kondisi seperti ini, Zara tanpa sadar memuji Agung.

Ia juga bingung dengan maksud Zara. "Apa maksudnya 'aku yang kena'?" Risya bertanya dalam hati.

"Risya masuk dulu yah, kak." Risya pamit pada Arkan.

Zara terlihat duduk di pinggir kasurnya sambil menunduk dalam. Ia terdengar menghela nafasnya berkali-kali. Risya berjalan menghampiri sahabatnya itu lalu duduk disebelahnya.

"Aku di sini. Kamu harus tau itu." Risya mencoba memberitahu keberadaannya pada Zara. Siapa tau dari kemarin Zara tak sadar bahwa Risya ada dan siap mendengarkan segalanya. Zara tak harus memendamnya.

Sederas HujanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt