1.5

342 53 11
                                    

Memandang bayangan diriku di cermin, kemeja lice putihku mendadak berubah bermotif polkadot besar kecil tak jelas berwarna abstrak hitam, kuning, orange dan coklat terutama di bagian punggung. Tentu saja ini adalah kenang-kenangan dari huru-hara di kantin Fakultas Teknik lima belas menit lalu.

Menghembuskan nafas perlahan akupun memakai cardigan milik Adista yang sialnya berwarna pink. Entah mengapa aku merasa kurang percaya diri jika memakai warna yang justru banyak disukai kaum hawa. Katanya pantas tidak pantasnya seseorang mengenakan pakaian amat tergantung dengan rasa percaya dirinya. Intinya aku tidak percaya diri mengenakan warna pink.

"Elah Mosa biasa aja mukanya! Masih cantik kok, lagian biasanya juga lo cuek sama penampilan, tumben banget lo uring-uringan cuma soal baju doang?" komentar Adista dengan posisi berdiri sambil bersedekap tangan di dada.

Dia berdiri membelakangi cermin. Setelah kejadian terakhir yang awkward, kami memang bergegas pergi ke di toilet dekat kantin. Untung tidak banyak orang yang datang. Kemungkinan mereka sedang mengikuti kuliah atau karena tidak banyak cewek di Fakultas Teknik. Lagian toilet kan banyak.

"Lo ingat habis ini kita masuk mata kuliah siapa?"

"Prof Djaenudin Rasidhi lah, lo kira gue amnesia! Eh tunggu, lo sedih gara-gara gagal tampil cantik di depan dia. Wah, sengklek lo, kayak nggak ada cowok lain aja. Sadar Mosa, putus asa sih putus asa tapi jangan jadi pelakor juga kali! gue laporin papi lo ntar!" ancam Adista dengan mata menyipit memandangku.

"Sembarangan lo!!!" sambil menoyor kepala sahabatku yang somplak ini. "Siapa juga yang ngecengin dia? Walau memang Prof Djaenudin masih ganteng sih. Tadinya gua mau duduk paling depan, siapa tahu dia terpana terus jadiin gue menantunya," jawabku sambil terkekeh pelan.

"Sarap lo, walau tuh profesor masih ganteng, belom tentu anaknya ganteng juga kali!"

"Gue pernah ketemu anak bungsunya, Dista. Waktu bimbingan sama PA gue dua minggu lalu. Dia baru pulang setelah studi S2 di Jerman, Profesor ngenalin dia ke dosen yang kebetulan ada di sana. Ganteng orangnya dan dia senyum ke gue," Mendadak senyumku terbit mengenang kejadian itu.

"Nggak usah kepedean deh Mosa, senyum itu wajib sebagai aturan sopan santun. Lagian minggu depan juga bisa ketemu sama calon mertua idaman lo. Kelasnya berulang setiap minggu. Gue ingetin kalau-kalau lo lupa."

Boleh nggak yaa mencekik orang yang nyebelin kayak gini, siapa tahu dosanya bisa diremisi gitu. Harusnya keadaan segampang itu, tapi tahu sendiri kadang takdir jadi rumit dan meleset jauh dari keadaan yang seharusnya terjadi. Lagian kalau sesederhana itu, nggak mungkin aku uring-uringan.

"Adista sang finalis abang-none yang gagal, kalau masalahnya sesepele itu, nggak mungkin gue stress gini. Profesor bilang sama Pak Rafli, PA gue kalau dia ngajar terakhir minggu ini, karena sampai tiga bulan ke depan dia bakalan wakilin kampus ke Amerika buat acara apaan gitu, gue nggak terlalu merhatiin ceritanya karena fokus ke wajahnya Abyan yang ganteng maksimal."

Mendengar ceritaku Adista malah tertawa ngakak. Dasar sahabat gila, bukannya turut prihatin malah ketawa kayak gitu. Daripada ada tambahan berita bahwa seorang mahasiswi ditemukan tewas dicekik sahabatnya di toilet, lebih baik pergi aja.

Melenggang santai keluar toilet diikuti Adista yang masih cekikikan. Pura-pura aja nggak kenal. Berjalan menuju pintu keluar bagian belakang untuk menghindari tatapan ingin tahu dari orang-orang atas kejadian tadi.

"Berhenti deh ketawa atau mau gue jejelin tisu nih. Semua ini gara-gara lo sama cowok berengsek pembuat onar itu. Kesel gue!"

Menghentikan tawanya, Adista menyipitkan matanya memandangku menyelidik "Ngomong-ngomong soal cowok tadi, jujur sama gue, lo 'sengaja' kan nyiram kepalanya pake orange juice. Mosa yang gue kenal, nggak latah. Aneh banget lo tiba-tiba latah, sampe bawa-bawa ayam segala lagi."

MIMOSAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt