2.5

177 28 3
                                    

Aku berlari secepat yang aku bisa, sesekali melirik jam di  pergelangan tanganku dan otomatis membuat mataku makin membulat. Tinggal lima belas menit sebelum kelas Bu Tania dimulai dan diriku masih ada di parkiran. Jangan kira kepribadiannya seindah namanya, sebaliknya beliau adalah tipe dosen tegas yang dengan senang hati akan mengusir siapapun mahasiswanya yang datang lebih lambat dari dirinya.

"Tutup pintunya... dari luar!" Kata-katanya yang dihapal oleh semua mahasiswa yang pernah mengikuti kelasnya. Kesiangan datang itu sepertinya merupakan masalah yang sering dan banyak dialami orang Indonesia.

Masalah kedua dari dosen wanita ini selain wangi parfumnya yang awet bertahan di kelas walau orangnya telah pergi hampir setengah jam lalu. Kelewat harum bikin eneg, bukan? Beliau juga hanya memberi dispensisasi 3x absen. Jika lebih dari itu artinya 'jumpa di tahun depan' alias mata kuliah anda gagal dengan kenang-kenangan nilai E di transkip nilai.

Dalam hati aku menyalahkan Papi karena tidak memperbolehkan aku membawa kendaraan apapun selama tinggal di Jakarta. Papi takut aku membuat ulah saat jauh darinya. Lagian mana mungkin aku  berani kebut–kebutan di daerah orang. Nah, kalau sudah telat ginikan aku yang repot.

Absen-ku terancam, guys!

Mengabaikan dering ponsel yang terus–menerus berbunyi dari dalam tasku. Lagi ribet gini ada aja sih yang ganggu. Aku malah terus berlari bahkan tak perduli saat beberapa orang tersenggol. Menggumamkan maaf seadanya pada korban yang tertabrak olehku. Dalam hati aku agak bersyukur karena tinggal naik tangga menuju lantai dua secepatnya.

DUK

Seketika kepalaku terasa menabrak sesuatu yang padat-padat empuk. Masalahnya, kekokohan lawanku yang ternyata lebih kuat membuat badanku limbung seketika ke belakang. Refleks tangan kananku meraih kemeja orang yang ada di depanku dan untungnya orang itu juga menarik tanganku yang satu lagi agar badanku kembali berpijak dengan stabil di puncak tangga.

Jatuh dari tangga itu ngeri banget menurutku.

Uuups… hampir aja!” suara berat seorang pria membuat napasku tercekat seketika.

Kayak familiar sama suaranya.

"____" Aku menegadahkan kepalaku untuk memandang wajahnya dan membuat diriku speechlees seketika.

Pria itu menaikan satu alisnya saat balik memandangku “Kamu Mosa kan?” tanyanya sambil tersenyum dengan gantengnya.

Buru-buru mengatupkan bibirku yang terbuka karena shock. Bahaya kalau dia ilfeel saat melihat mimik wajahku yang cengo cenderung mupeng saat memandangnya.“Ka-kak Abyan masih inget nama saya? Ngapain dateng ke kampus, bukannya Profesor lagi di Amerika?” suaraku bahkan agak terbata karena takjub sambil meredakan gemuruh jantungku yang berdetak makin keras entah karena efek lari-lari atau malah efek lain yang aku tidak tahu pasti.

“Kamu juga inget nama sayakan, masa saya nggak boleh inget nama kamu. Justru karena Ayah masih di Amerika, jadi saya yang disuruh ambil berkas penting di mejanya,” jawabnya dengan senyum makin lebar.

Rezeki anak shalihah.

Pagi–pagi ketemu pangeran, senyumnya itu ya Alllah… Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?

“Iiiiish… Malah ngelamun. Kamu lagi buru–buru? Ngapain lari–lari di tangga? bahaya Mosa!” nasihatnya sambil mengoyang–goyangkan tanganku yang ada di gengamannya untuk menyadarkanku.

Buru–buru?

Lari–lari di tangga?

Alarm dalam otakku berbunyi saat mencerna ucapannya, mampus… gue terlambat!

MIMOSAOn viuen les histories. Descobreix ara