14

928 39 8
                                    

Perkataan polos Alesha sungguh membingungkan. Tak hanya kali ini, setiap perkataan yang keluar dari mulut Alesha memang ambigu. Tristan tidak habis pikir. Almarhumah ibu Alesha mengidam apa ketika mengandung bocah itu?

Alesha menggembungkan pipinya kesal, terlihat imut di mata Tristan. "Alesha ini nggak bodoh. Kalau Tristan nggak punya pacar, berarti sudah punya istri. Hah, Alesha tahu yang begini-begini. Suaminya sudah bosan dan mau mencari perempuan lain. Ujung-ujungnya, pelakor juga yang salah. Padahal nggak semua pelakor itu bersalah. Ada juga yang enggak tahu kalau prianya itu sudah punya istri." Oceh Alesha panjang lebar.

Sejenak Tristan memejamkan matanya, berusaha mencerna setiap kata yang dikeluarkan oleh mulut Alesha. Jadi, perempuan ini menganggapnya sudah memiliki istri? Memangnya setua apa Tristan sampai Alesha mengira seperti itu? Dirinya masih 27 tahun dan menurut Tristan, dalam usia tersebut tidak harus menyandang status suami.

Sedikit demi sedikit Tristan mengetahui sifat bodoh Alesha ini, menyimpulkan sesuatu sesuka hati. Tristan ingat, saat dirinya pergi ke Jasmine's dan tiba-tiba Alesha masuk ke dalam mobilnya, menuduh Tristan telah memberitahukan kepada temannya bahwa Tristan adalah kakak Alesha.

"Kenapa kamu mengira aku punya istri?" Tristan menaikkan sebelah alisnya menatap datar Alesha, berjalan mendekatinya yang sedang duduk di kursi di hadapannya.

Alesha berdiri dan mencoba menaikkan dagunya bersikap angkuh. "Tristan ini ganteng. Kalau nggak punya pacar, ya, pasti punya istri lah. Alesha sudah bilang, Alesha nggak bodoh!"

Hampir saja Tristan menjatuhkan rahangnya setelah mendengar perkataan super jujur dari Alesha. Perempuan ini benar-benar tidak bisa berbohong.

Tristan mengusap rambutnya dengan gaya sok keren lalu menaik-turunkan alisnya. "Hm... ganteng, ya? Seganteng apa memangnya?"

Alesha mendesis. Bisa-bisanya Tristan menggoda Alesha ketika dirinya sedang marah seperti ini. Kalau Tristan tambah ganteng begini, Alesha tidak bisa mempertahankan amarahnya. Padahal dia masih ingin marah pada Tristan.

"Tristan bisa serius enggak, sih? Sekarang jelasin! Mana istri Tristan?" Ketusnya sambil menunjuk-nunjuk Tristan tidak sopan.

Tristan tidak menghiraukan tingkah tidak sopan Alesha, malah dirinya makin gencar menggoda Alesha yang polos ini. "Ini, istri aku di depan aku." Jawabnya sambil tersenyum miring.

Alesha melirik ke kanan-kiri, salah tingkah. "Se-serius! Istri Tristan mana! Alesha mau ngadu supaya Tristan nggak nyekap Alesha di rumah ini lagi."

"Kamu lah, Alesha. Calon istri aku." Tristan mengulum senyum jahilnya.

Demi ayam cabe ijo buatan Jojo, Tristan ganteng banget. Alesha nggak kuat. Maafin Alesha ya, Maria, kalau Alesha ngelangkahin Maria.

"Tapi bohong," lanjut pria itu tanpa merasa berdosa.

Alesha menatap mata Tristan lalu tangannya bergerak memeluk tubuh kekar pria itu. Pelukan yang sangat erat, sampai Tristan dapat merasakan dua gundukan daging Alesha menempel di dada bidangnya.

Tristan mendesah kecewa, adiknya bangun lagi. Walaupun ukuran benda Alesha itu cukup kecil, tapi namanya juga pria. Nafsu tetap ada, tidak pandang kecil atau besar.

"Alesha suka sama Tristan." Bisik perempuan itu. Tristan mengangguk, mengetahui hal itu sebab Alesha sudah berulang kali mengatakan padanya tanpa bosan.

Pria itu mengusap-usap punggung mungil Alesha. "Aku belum punya pacar ataupun istri, Alesha."

"Bagus, bagus." Gumam Alesha yang didengar oleh Tristan.

"Kenapa bagus? Jangan kamu pikir aku bakal jadiin kamu pacar, ya. Kamu bukan tipeku." Apalagi punya kamu masih kecil. Tristan menaruh dagunya di atas kepala Alesha.

Holang tinggi mah bebas.

"Ih, jahat. Tristan nggak kasihan apa sama Alesha? Awas, ya, kalau Tristan cium-cium Alesha lagi. Alesha enggak sudi!" Alesha segera melepaskan pelukannya dan berlari ke kamarnya. Menutup pintu dengan membanting keras pintu itu.

***

Tristan melirik ke arah Alesha yang baru keluar kamarnya dan berjalan ke arah Tristan yang sedang menyantap makanan bergizinya. Melihat ekspresi Alesha yang sebelas dua belas dengan rakyat jelata yang krisis makanan bergizi.

Alesha menghampirinya dan tanpa rasa bersalah duduk di kursi di samping Tristan.

"Alesha lapar." Cicit perempuan itu.

Tristan mengunyah makanannya tanpa berniat meladeni Alesha. Sengaja memanas-manasi cacing-cacing perut Alesha yang membutuhkan makanan bergizi.

"Tristan..." rengek Alesha sambil menggoyang-goyangkan lengan atlestis Tristan.

"Apaan sih? Ganggu aja. Kalau lapar, ya, buat makan sendiri sana." Ujar Tristan ketus lalu melanjutkan kegiatan makannya lagi.

Alesha mendengus, "Alesha nggak bisa masak!"

"Bisanya cuma bangunin adik orang." Sungut Tristan. Tersadar telah kelewatan bicara, Tristan menoleh ke arah Alesha yang sedang menatapnya bingung.

"Siapa yang bangunin adik orang? Tristan punya adik?"

Tristan menghela napas lega. Kepolosan Alesha ini ternyata ada gunanya juga. Jadi, Tristan bisa sesuka hati mengatakan semua uneg-unegnya, dijamin Alesha tidak akan mengerti.

"Udah, ah. Kamu mau makan nggak?" Tristan mencoba mengalihkan pembicaraan. Berhasil, sekarang Alesha mengangguk antusias.

"Cium dulu."

Alesha menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah angkuh. "Enak aja. Alesha ini pembantu Tristan. Tristan enggak boleh cium Alesha lagi."

"Memangnya kenapa? Kok nggak boleh? Bukannya kamu suka dengan bibir aku?"

Alesha sejenak berpikir. Dia memang menyukai bibir Tristan yang lembut. Tetapi, dia tidak mau mencium Tristan sekarang. Tekadnya sudah bulat.

"Pokoknya enggak! Kecuali... Alesha jadi pacar Tristan. Maria bilang, Alesha nggak boleh mencium orang sembarangan. Hanya boleh dengan pacar atau suami."

Tristan mengerang frustasi, menjambak rambutnya sendiri. Ingin menjambak rambut Maria—teman Alesha, tetapi Tristan tidak mengenalnya. Bertemu saja belum pernah, sudah membuat Tristan kesal. Apalagi kalau sudah bertemu, bisa-bisa Tristan menggaruk wajah si Maria Maria itu.

"Yang mana sih yang namanya Maria? Rese banget." Decak Tristan.

"Yang cantik, tinggi, seksi, temen Alesha. Eh, jangan mengalihkan pembicaraan!" Alesha melipat tangannya di dada. "Tristan mau nggak jadi pacar Alesha?"

"Enggak." Tristan menggeleng mantap.

Alesha terdiam, menatap meja makan di hadapannya dengan pandangan kosong. Gila saja, ini kali pertamanya dia menyukai seseorang dan menyatakan cintanya. Tetapi malah ditolak. Hidup Alesha terlalu miris untuk diketahui orang lain.

Alesha mengusap air mata yang hampir jatuh di sudut matanya, tidak ingin Tristan mengetahui dia menangis. Itu sama saja membuat Tristan semakin besar kepala. Dia kira Alesha akan menangis meraung-raung dan meminta balasan cinta?

Tidak.

Alesha tidak semurah itu.

"Alesha mau keluar, cari makan dulu." Dia beranjak dan berjalan ke kamarnya. Mengambil dompet dan jaketnya lalu keluar dari kamarnya.

Matanya terbelalak melihat keberadaan Tristan di depan pintu kamarnya. Mau apa lagi pria ini? Tidak puaskah dia menolak Alesha? Mau mengolok-ngoloknya dan mengatakan Alesha bukan tipenya lagi?

"Tristan—"

Ucapannya terpotong sebab Tristan memeluk tubuhnya erat. "Kamu bener-bener suka sama aku?"

Alesha membalas pelukan Tristan dengan senang hati dan mengangguk. "Iya lah, Tristan. Ngapain juga Alesha bohong? Walaupun Maria bilang harusnya Alesha shopping pakai duitnya Tristan saja, Alesha enggak butuh duit Tristan. Alesha maunya Tristan jadi pacar Alesha."

Sial. Maria Maria itu benar-benar gila. Lebih gilanya lagi Alesha yang mau saja berteman dengannya dan terhasut oleh bisikan yang sangat merusak otak generasi penerus bangsa.

Awas kau, Maria!

***

Rich Man's MaidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang