13

1K 52 3
                                    

Restoran yang tadinya penuh oleh pengunjung, ramai, berisik, kini semua itu lenyap. Hanya ada sepasang manusia dengan status majikan dan pembantu, yang tengah duduk berhadapan dibatasi oleh sebuah meja.

Tristan menyewa tempat itu sampai mereka selesai menikmati hidangan makan siang. Itu keinginan Tristan. Alasannya simple, karena dia tidak suka keramaian. Apalagi dia sedang bersama dengan perempuan polos yang banyak bicara itu.

Alesha tersenyum saat Tristan menatap matanya. Tangannya yang memegang pisau dan garpu, bergerak memotong steak di piringnya. Tetapi matanya tidak sekalipun lepas untuk memandang ciptaan tuhan di hadapannya ini.

Tristan Mandela.

"Aku tahu aku tampan, nggak usah dilihatin begitu." Ujar Tristan, menyadarkan Alesha kembali ke dunia nyata. Dunia dimana dia berperan sebagai pembantu dari makhluk tampan ini.

"Iya, Tristan tampan." Alesha tersenyum lagi. Garpunya menusuk potongan steak di piringnya, lalu dimasukkannya ke dalam mulutnya.

Tristan ingin cepat-cepat menyelesaikan acara makan ini, jika tidak, jantungnya harus menjadi korban atas tingkah Alesha. Pria itu meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring, menandakan kalau dia sudah selesai makan.

Alesha terkejut, dirinya bahkan baru memakan satu potong daging. Memandang wajah tampan Tristan membuatnya sampai lupa waktu dan keadaan.

"Tungguin Alesha makan, ya." Alesha langsung memasukkan banyak potongan daging ke dalam mulutnya. Noda-noda saus steak itu bertebaran di sekitar area pipi dan mulut Alesha.

Perempuan ini, selain bodoh juga tidak bisa bersikap anggun di depan pria. Pantas saja di masih jomblo. Tristan meringis, mengapa dia berspekulasi bahwa Alesha belum memiliki pacar? Bahkan dia belum genap sebulan kenal dengan Alesha.

Tristan mengambil tisu dan mengelap noda-noda di sekitar pipi dan mulut Alesha dengan pelan. Kepalanya menggeleng-geleng melihat kekacauan ini. Alesha memang selalu bertingkah seperti anak kecil.

"Bocah." Ejek Tristan.

Alesha melotot dan merampas tisu dari tangan Tristan, mengelap pipinya yang kotor. "Bocah apanya? Alesha sudah 18 tahun."

"18 tahun, tapi tingkah kamu seperti bocah."

Perkataan Tristan sedikit menyakiti hati Alesha. Tingkah Alesha memang begini. Bahkan teman-temannya di kampus saja tidak terganggu dengan tingkah Alesha.

Ah, Alesha lupa. Tristan, kan, majikannya. Tentu saja Tristan selalu berkomentar sesuka hati jika ada yang mengganjal di hatinya. Seperti saat ini.

Melihat sikap Alesha yang mendadak diam ini, Tristan merasa tidak enak. Memang suasana akan senyap dan tenang jika perempuan itu tidak mengoceh, tetapi ini sedikit mengganjal. Mungkin Tristan sudah mulai terbiasa dengan semua tingkah laku Alesha.

"Ehm, Alesha, tadi kamu mau ngomong apa?" Tanya Tristan datar seperti biasa.

Alesha sedikit mendongak, alisnya tertaut bingung. "Hah? Ngomong apa?"

"Tadi di panggilan, kamu katanya mau ngomong."

Seketika Alesha teringat dan mengangguk-angguk girang. Senyuman manis tersungging di bibir ranumnya. Bibir yang beberapa kali dicicipi oleh pria kaya bernama Tristan Mandela.

"Tristan mau Alesha bilang disini atau di rumah aja?"

Tristan menaikkan bahunya acuh, "terserah."

"Tristan kayak perempuan, bilangnya terserah."

Memangnya hanya kaum hawa yang boleh mengatakan kata itu? Terserah. Apakah larangan kaum adam mengatakan kata terserah ada dalam kitab suci atau undang-undang negara? Tidak, kan?

Rich Man's MaidWhere stories live. Discover now