6. Rumah makan padang

77 9 5
                                    

Sheila memeluk dirinya dihalte bus, tempat ini mungkin akan menjadi saksi bahwa dirinya sedang menangis. Menangis karena hal bodoh, bibirnya menggetar karena kedinginan. Hujan sedari tadi tidak mau berhenti, air itu terus jatuh dari langit membasahi bumi.

Air matanya terus mengalir, ia tidak tahu mengapa lemah seperti ini jika mengingat masa lalunya. Sheila ingin sekali melupakan itu semua, Sheila ingin masa lalu itu berhenti mengejarnya, berhenti membuatnya lelah. Sheila tahu, kita berjalan untuk kedepan bukan kebelakang. Tetapi, rasanya ia tidak bisa. Bayang bayang masa lalunya terus menghantui setiap langkahnya.

Dengan mudahnya dia meminta maaf kepada dirinya, meminta untuk melanjutkan kembali hubungannya. Arthur tidak tahu betapa sulit Sheila saat itu, saat dimana dirinya sedang dimasa masa tersulit. Dan lelaki itu tidak pernah ada disampingnya, kini. Ia kembali hanya mengucapkan kata maaf saja? Itu tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan luka dihati gadis dingin itu.

Luka yang sampai sekarang belum bisa terobati. Luka yang membuatnya menjadi seperti ini, cacian makian, siksaan. Pembullyan, hinaan? Itu tidak akan pernah bisa Sheila lupakan. Sheila ingin mengeluh, ia capek. Jika harus seperti ini, sedari kecil dirinya sudah tinggalkan oleh kedua orang tuanya yang kini entah dimana.

Sheila dititipkan dipanti asuhan oleh bibi nya. Bi Arumi, yang kini juga tidak tahu keberadaan. Sheila kecil dulu hanya bisa menurut jika harus dititipkan dipanti asuhan, karena Bi Arumi tidak sanggup membiayai kehidupan Sheila. Hanya seorang pedagang kopi keliling, tidak cukup jika harus membiayai Sheila. Maka dari itu Sheila hidup sendiri dipanti asuhan.

Beranjak masuk sekolah menengah pertama. Sheila memutuskan untuk tidak lagi tinggal dipanti asuhan. Ia berkelana, mencari tempat tinggal. Setelah itu ia bertemu dengan Bu Laras. Saat itu semesta sedang berpihak kepadanya, dengan ramah Bu Laras mengizinkan Sheila untuk tinggal serumah dengannya. Gadis itu membuka rumah makan kecil kecilan, ia tidak mau harus merepotkan Bu Laras. Sudah numpang dia harus tahu diri.

Saat kelulusan SMP, Bu Laras telah meninggal dunia. Wanita paruh baya itu sakit gagal ginjal. Sheila kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa membiayai cuci darah Bu Laras, wanita yang sudah ia anggap Ibunya sendiri. Bayangkan, jika tidak bertemu Bu Laras ia tidak akan seperti ini. Tidak akan mempunyai Restoran ternama serta rumah mewah. Tapi sayang, Sheila tidak pernah menikmati itu semua.

Sheila ingin sekali menyuarakan pendapatnya kepada semesta. Apa salah jika anak pelacur dan pejudi sekolah? Apa salah jika anak pelacur dan pejudi hidup? Tidak ada yang bisa disalahkan, setiap manusia itu butuh pendidikan. Tidak dinilai dari latar belakang atau apapun itu, bukankah seorang pelacur juga pernah merasakan sekolah?

Tetapi, mengapa semua orang  menggangap itu sangat tidak penting. Tidak penting jika Sheila mendapat pendidikan. Dijauhi, dibully, dihina, di caci dan di maki. Hanya karena itu? Jika boleh meminta, Sheila tidak ingin lahir ke dunia. Jika pada akhirnya seperti ini, biarkan saja ia tidak lahir. Tetapi semua sudah sia sia. Takdir tuhan tidak ada yang tahu, manis pahit dalam kehidupan itu sudah biasa. Mungkin hari ini dirinya sedang diterjang badai besar, siapa tau hari esok ia akan melihat pelangi yang sangat indah, bukan?

Setiap ada badai. Setelahnya pasti akan ada pelangi, setiap ada kesedihan. Setelahnya pasti ada kebahagian.

“Sheila!”Panggil seseorang.

Sheila mendongak, melihat sepasang sepatu vans berdiri dihadapannya. Matanya yang sembab karena sehabis menangis menatap cowok yang telah menganggunya belakangan ini. Gadis itu berdiri, hendak pergi. Namun lengannya berhasil dicekal.

Kailand menatap Sheila, ia tersenyum tipis. Kailand tahu Sheila sehabis menangis. Yang ia tidak tahu, Sheila menangis karena apa?

“Mau kemana?”Ucap Kailand lembut. Matanya masih menatap manik mata milik Sheila.

SHEIKAI [On going]Where stories live. Discover now