Vania, anak mereka di luar nikah. Mereka tidak direstui hingga akhirnya nekat.

"Oke," jawabku pelan.

"Kamu sama Tante Salwa dulu, ya?" Adelia, wanita penyebab semua rasa sakit di dalam dada ini menyahut.

"Tapi, maunya sama Mama." Gadis kecil itu merengek.

Iya! Terus, Vania! Ganggu malam pertama mamamu!

"Gini deh!" ucap Adelia sembari berjongkok. "Kalau Vania bobo dulu satu malam sama Tante Salwa, besok kita liburan. Sama Papa. Mau?"

Dengan bodohnya gadis kecil itu mengangguk antusias.

Sial!

Aku tersenyum kecut melihat buah hati mereka tengah tertidur pulas. Seakan tidak ada masalah apapun.

Ya. Tidak mungkin ia mengerti yang aku rasakan sekarang ini.

Aku ingin melampiaskan kekesalan pada anak ini. Namun, ia sama sekali tidak berdosa.

Daripada memikirkan semua ini, mungkin menyibukkan diri adalah hal yang paling baik.

Dapur pilihan yang tepat.

Aku mengabaikan gadis manis itu di atas tempat tidur. Mencepol rambut asal, aku keluar kamar.

"Vania di mana?"

Bersamaan saat aku keluar, suamiku, Revan, berdiri di depan pintu.

"Di dalam. Masih tidur."

Tatapannya terhunus tajam untukku. Ciri khas yang membuat jantung ini mulai berdetak keras ... untuknya seorang.

Tanpa mengucap apapun yang dikhususkan untukku, dia melangkah memasuki kamar.

Mengabaikan segala rasa sakit. Di dalam dada ini.

*****

"Tante, aku maunya selai cokelat, bukan kacang!" pekik Vania.

Aku membuang napas kesal. Kenapa jadi pembantu begini? Sementara orang tuanya? Di sana. Duduk manis di sofa cokelat sambil memamerkan kemesraan.

"Okey," jawabku dengan nada yang dilembutkan.

Sekilas, kulirik Revan. Jujur, aku ingin berbicara padanya. Lima menit saja. Hanya untuk mempertanyakan maksudnya atas semua ini. Apa dia ingin menyiksaku?

"Ck! Tante lama! Aku mau sama Mama aja!" Vania berteriak keras.

Ya Tuhan, berikan kesabaran melimpah untukku.

Sepertinya, sekarang adalah kesempatan yang baik. Adelia sibuk membujuk anak keras kepalanya itu untuk makan. Sementara Revan duduk membaca koran.

"Revan ...."

Hanya geraman pelan sebagai jawaban atas panggilanku tadi. Aku tersenyum miris.

"Aku boleh bicara?"

Kasar, lelaki itu meletakkan surat kabar di atas pangkuannya. "Kalau mau bicara, silakan. Tidak perlu bertele-tele. Kamu pengganggu sekali, Salwa!"

Nyeri sekali di dalam dada. Hingga aku harus menggigit bibir agar tidak berteriak padanya.

"Kamu kenapa ngelakuin ini?"

"Melakukan apa?"

"Menikahiku," ucapku pelan. "Lalu menikahi Adelia. Di hari yang sama. Tanpa membicarakan ini terlebih dahulu. Kenapa?"

Mata elangnya seakan ingin mencabik-cabik seluruh kekuatan dan keberanian dalam diri. Aku menunduk untuk menghindari hal paling menakutkan itu.

"Kamu belum tahu, Salwa?" tanya Revan dengan nada rendah. Aku meneguk ludah dengan gugup. "Saya menikahi kamu itu hanya untuk balas budi sama ibu kamu! Jadi, jangan berharap terlalu lebih!"

"Apa aku tidak bisa memiliki tempat yang sama seperti Adelia, Revan?"

"Tentu tidak! Kamu bukan pilihan saya! Saya hanya mencintai Adelia dan Vania, bukan kamu!"

"Rev ...."

"Saya tidak ingin berurusan dengan kamu, Salwa. Hanya beberapa bulan saja saya akan bertahan dengan kamu. Karena setelah ibu kamu meninggal, saya akan langsung menceraikan kamu!"

Aku mundur. Kalimat itu bagaikan tamparan telak.

"Revan ..." Suaraku bahkan bergetar saat menyebut namanya.

"Sudah! Saya lelah!"

Ia beranjak dari tempatnya duduk, lalu menghampiri keluarga kecilnya yang sedang sarapan.

Kalau kamu tidak bisa memberiku tempat, Revan. Aku sendiri yang akan mengambil tempatku.

*****

Aku tersenyum puas kala jari-jemari dengan lincahnya menari di atas keyboard laptop. Dengan iringan bayangan di otak yang terus berputar, aku tak lelah menorehkan imajinasi.

Lalu terhenti. Saat semua bayangan tiba-tiba menghilang karena adegan keluarga kecil di rumah ini kembali memenuhi pelupuk. Sial! Aku kesal!

Aku mengubah posisi menjadi telentang menghadap langit-langit kamar. Kubiarkan imajinasi membentuk sebuah adegan film di atas sana.

Satu demi satu bayangan mulai muncul, yang menjadi penuntun tindakanku selanjutnya.

Tentu tidak mungkin aku diam saja. Setiap hak harus diberikan pada orang yang bersangkutan. Dan di sini, aku sebagai istri pertama harus mendapatkan hakku.

Jika Revan tidak bisa memberikannya, aku sendiri yang akan mengatur rencana untuk mendapatkannya.

*****

Beda kan 😆Soalnya anu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Beda kan 😆
Soalnya anu ... aku kapok bikin tokoh utama cewek selalu menderita. Enggak adil banget. Sekarang waktunya pembalasan 😈😈

Es_Pucil
Si otak jahat😈

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now