31. Berpisah

17.2K 1K 44
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

🕊 Suara tangisan anak bayi seketika menjadi pengisi di pagi harinya, Ardan. Ia yang masih nyaman berada dalam posisi tertutup selimut di atas kasur, sampai menutup kedua telinganya juga menggunakan bantal.

"Khai, berisik. Bayi siapa sih yang nangis." Ardan semakim menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal.

"Bayi aku, BANGUNNN!!!" teriak Khaila, bersamaan dengan tangannya yang mengambil bantal Ardan.

"Kan masih di dalam perut, ko bisa bunyi." Ardan heran.

"Bisalah." balas Khaila ketus sambil melempar ponselnya yang sedang membuka aplikasi youtube.

Ck, dari situ. Ardan membatin.

"Kamu galak amat sih, Khai." Ardan memegang selimutnya kencang-kencang agar tidak ditarik juga oleh Khaila.

Bukan bumil jika pantang menyerah, sebelum kemauannya terwujud, ia akan terus memperjuangkan keinginannya.

"Lagian kuping apa cantelan, aku udah tujuh kali naik turun bangunin kamu, tapi kamu nya masih tidur. Cepet bangunn!!" sekuat tenang Khaila menarik selimut yang dipertahankan Ardan.

"Awas Khai, bayi kita." Ardan mempertahankan selimutnya sekencang-kencangnya agar Khaila tidak terjatuh ke bawah.

Khaila berhenti dan mengelus perutnya beberapa saat. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya terus naik turun, dan kembali berbicara, "Aku mau bubur." rengeknya.

Ardan beristighfar dalam hati. Baru saja ia memulai mimpi indah lagi setelah meniup balon yang begitu banyak semalam. Dan kini Khaila sudah memiliki permintaan lagi.

"Bubur yang mana, yang di pasar?" tanya Ardan agar tidak salah lagi.

Khaila menggeleng. "Yang biasa mangkal diujung kompleks."

Kan, beda lagi. Batin Ardan.

"Bener?" tegasnya.

Khaila kembali mengangguk mantap. Sedangkan Ardan masih ragu, trauma akan kejadian beberapa waktu lalu yang juga menyangkut persoalan bubur.

Sebelumnya Khaila juga pernah meminta dibelikan bubur oleh Ardan. Khaila menginginkan bubur langganannya yang berada di pasar, namun Ardan tak menemukan tukangnya saat itu. Sehingga Ardan membeli bubur ditempat lain, berpikir bahwa Khaila tidak akan mengetahui. Tapi siapa sangka, dugaannya salah besar, feeling ibu hamil benar-benar kuat, Khaila dapat mengetahui bahwa itu bukan bubur yang ia pinta bahkan sebelum ia membuka bungkusnya. Alhasil bubur yang Ardan beli susah payah itu berakhir di tempat sampah, dan ia kembali di siksa untuk mencari keberadaan rumah tukang bubur itu.

Malangnya.

"Kenapa diam." rengek Khaila lagi.

Sebisa mungkin Ardan melebarkan senyumannya. "Mau aku suapin sekalian gak?" goda Ardan, membuat pipi Khaila merona.

Inilah yang Ardan suka, semua rasa jengkelnya akan musnah begitu saja saat melihat wajah manis Khaila yang malu saat ia goda.

Gemasnya.

Untung saja Ardan memiliki moto yang selalu ia ingat 'kebahagiaan istri, kebahagiaan bunda dan Allah' sehingga ia tak pernah bosan menghadapi rengekan manis dari Khaila, dan selalu mengutamakan senyuman di bibirnya.

Sebab sudah cukup luka yang ia torehkan, dan sudah cukup air mata yang Khaila keluarkan. Kini, saatnya cerita bahagia.

"Umi sayanggg-" greget Ardan mencubit kedua pipi Khaila.

Terlatih ✓Where stories live. Discover now