2. Patah hati pertama

24.3K 1.7K 48
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya sebuah pengharapan, supaya kamu mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui hati yang berharap selain Dia. Maka Allah menghalangi mu dari perkara tersebut agar kamu kembali berharap kepada-Nya.
Imam syafi'i
•••

🕊 Cahaya mentari pagi menembus masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Kicauan burung sudah terdengar bersahut-sahutan dari luar sana. Membuatku ingin segera keluar untuk melihatnya.

Sedari pagi aku sudah sibuk merapikan diri, memakai gamis berwarna peach, serta pasmina instan yang berwarna senada. Tak lupa ku poles sedikit lipstik dan bedak di wajahku agar tidak terlihat pucat.

Siap!

Aku bergegas menuruni anak tangga untuk menuju ruang makan yang berada di bawah. Sesampainya di bawah, manik mataku langsung menangkap sosok pria dewasa yang tengah menyesap kopinya. Di sisi lain terlihat seorang wanita yang tengah menata makanan untuk kami semua sarapan.

Mereka berdua tak lain adalah kedua orangtua Ardan, sahabat baikku.

"Pagi bun, ayah." sapa ku kepada kedua orang tua, Ardan.

Sedari kecil, aku dan Ardan memang sudah terbiasa memanggil orangtua kami sesuai panggilannya. Jadi jangan heran jika aku memanggil kedua orangtua Ardan dengan sebutan ayah bunda, begitupun dengan Ardan yang memanggil kedua orangtuaku dengan sebutan yang serupa.

"Pagi juga sayang, ayo duduk." bunda menghampiriku, lalu menarik sebuah kursi untuk ku duduki.

"Aku bisa sendiri kok bun."

"Gak apa-apa, hari ini khusus untuk anak perempuan bunda." katanya, lalu kembali mengambil beberapa lauk pauk yang masih tertinggal.

Sebenarnya akulah yang telah memasak semua makanan. Tapi karena tadi masih terlalu pagi, akhirnya aku menyimpannya dilemari makan agar bisa ku tinggal berganti pakaian.

Setelahnya barulah bunda yang menata semuan makanan diatas meja, ketika waktu sarapan tiba.

"Ardan, cepat turun. Semua sudah siap. Ayo kita sarapan." seru bunda memanggil Ardan yang masih betah berada di kamar.

"Bun, bun. Punya anak laki-laki kok kaya anak perempuan, lama banget kalau dandan." celetuk ayah sambil menggelengkan kepalanya.

Aku dan bunda terkekeh pelan. Memang begitulah Ardan, mandi duluan tapi keluar paling belakangan.

"Ardan..." seru bunda lagi, namun tak ada jawaban.

Beberapa menit telah berlalu. Ardan belum juga memberikan tanda bahwa ia akan segera turun. Ayah yang semula duduk santai mulai terlihat gelisah karena menunggu terlalu lama.

Rahangnya terlihat sudah mengeras dan berulang kali menghempas napas gusar.

"Sudah mari kita makan. Biar saja dia makan sendirian, ayah takut kesiangan." lontar ayah akhirnya.

Aku dan bunda saling melempar tatapan. Akhirnya kami mengiyakan perkataan ayah.

Sejujurnya aku pun tidak ingin datang kesiangan ke butikku sekarang.

Terlatih ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang