10. Akhir harapan

16.2K 1.4K 59
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Jika kematian lebih dulu mengkhitbahku, janganlah kau mencaci takdir yang mematahkan harapmu. Namun bersyukurlah karena kau hanya akan kehilangan temanmu, bukan jodohmu.
~ Terlatih ~

•••

🕊 Gaun pengantin kak Aisyah tengah ku pasang di salah satu mannequin. Setelah memakan waktu hampir dua minggu lamanya, kini gaun itu telah selesai dan siap berada di tubuh sang pemiliknya.

Sore ini, pegawaiku akan mengirim gaunnya ke sana. Membuatku benar-benar harus berpisah dengan impianku selama tujuh tahun lamanya.

Bulir-bulir yang selalu ku tahan hampir lolos dari kedua mata. Sejak kabar pernikahan Ardan, aku telah menjadi wanita lemah yang selalu meratapi nasibku dengan tangisan yang menyedihkan.

Untuk akhir dari sebuah pengharapan, aku ikhlas menerima ini semua ya, Rabb.

"Mbak, gaunnya mau jam..."

Aku cepat-cepat mengusap wajahku, lalu berucap, "Jam empat." jawabku cepat dan segera pergi meninggalkan Sinta.

Untung saja ia tak banyak bertanya seperti biasanya. Jadi aku bisa dengan mudah lolos dari hadapannya.

Setelah pekerjaanku selesai. Aku bergegas pulang untuk membantu persiapan pernikahan, Ardan. Tepat pukul delapan malam aku tiba di rumah, dan segera masuk ke dalam.

"Assalamualaikum." ucapku ketika sampai di depan pintu rumah.

"Wa'alaikumsalam." suara nyaring itu terdengar di samping tempat aku berdiri.

"Ayana. Ngapain di situ?" si kecil itu ternyata sedang duduk di pinggir teras rumah, sambil memeluk boneka beruangnya.

"Menunggu ayah." jawabannya sambil mengeratkan pelukannya pada boneka.

"Kamu kedinginan ya? Ayok masuk sama kakak." ajakku yang langsung mendapat gelengan darinya.

"Kak Khai sudah pulang."

Aku menolehkan kepala ke arahnya, ia muncul dari dalam rumah.

"Arkan. Iya kakak baru pulang, kamu kapan sampai?" tanyaku pada anak laki-laki yang berusaha enam belas tahun itu.

"Tadi siang kak. Oh iya, kata bunda kalau kakak sudah pulang, kakak langsung istirahat saja."

"Memangnya persiapan pernikahan Ardan sudah selesai?" tanyaku, namun Arkan hanya mengedikkan bahunya.

"Ayok Ayana, kita ke dalam." ajakku lagi, namun Ayana kembali menolaknya.

"Biar dia bersamaku kak. Kakak istirahat saja." Arkan sudah duduk menemani adiknya.

"Memangnya om Hafiz kemana?"

"Sedang ada urusan kak." balas Arkan singkat yang membuatku hanya mengangguk sekilas.

"Yasudah, kakak masuk duluan ya. Kalian jangan lama-lama berada di luar."

Arkan dan Ayana mengangguk pelan, dan aku melangkahkan kaki masuk ke dalam.

Ketika aku berjalan masuk, suasana di dalam rumah nampak begitu sepi. Padahal, biasanya rumah akan begitu ramai dengan kehadiran keluarga bunda, apabila akan diadakan suatu acara.

Terlatih ✓Where stories live. Discover now