13 ✏️ Terorisme

4.7K 487 70
                                    

HARI ini Kania menyelesaikan tugasnya dengan sempurna. Nota tellernya paling banyak di antara teman-teman teller yang lain, ada sekitar 310 transaksi yang dia layani sepanjang jam pelayanan. Lelah, jangan ditanya lagi. Jalur transaksi cepat itu membuat dia seperti olah raga, berdiri, senyum, menghitung uang transaksi dibawah dua puluh lima juta, kemudian duduk untuk memposting masuk ke dalam sistem perbankan, berdiri kembali dengan maksimal waktu tiga menit per transaksi. Kecepatan dan ketelitian kerja yang luar biasa ekstra.

"Aku mau ke supermarket sebelah. Ada yang mau titip nggak?" sepertinya tubuh Kania membutuhkan larutan isotonik untuk menyegarkan kembali ion-ion di otaknya.

"Boleh Ni, belikan juice segar ya, jambu merah atau mangga," sambut Iwan.

"Susu cair tetrapack, Ni, pake uangmu dulu," sambung Hendro.

"Keripik singkong, Nia, rasa balado. Roti sobek juga ya, lapar banget belum sempat makan siang," kata Titin.

"Ok, tunggu ya. Titip uang tellerku ya?"

"Udah klop?"

"Udah tinggal rapiin aja, ntar aja habis dari supermarket."

"Alah, bilang saja sekalian rapiin ya, Ndro," kata Hendro sambil terkikik geli. Karena Hendro yang kini posisinya berada di samping Kania membuatnya cepat tanggap untuk menawarkan bantuan seperti biasa yang dilakukan Kania atau Iwan saat Hendro melaksanakan dinas luar.

"Makasih loh Ndro, kamu baik deh."

Kania melenggang, melangkahkan kakinya yang berbalut flat shoes menuju supermarket yang ada di sebelah kantornya. Masih lengkap mengenakan pakaian seragam nasional beserta dengan nametag yang tersemat di dada kirinya.

Dengan mendorong mini trolly, Kania mulai menyisir rak tumpukan makanan kecil. Mengambilkan beberapa pesanan dari teman-teman gengnya. Kripik singkong, roti sobek, juice jambu dingin, susu cair, dan beberapa snack lainnya, sampai terakhir dia memilih untuk mengambil minuman isotonik.

Rak dimana biasanya selalu ditempatkan botol isotonik terlihat kosong. Tidak ada satu pun botol yang ada di sana. Hingga Kania kembali memutar dan akhirnya menemukan minuman yang dimaksud. Namun, tempat minuman yang diinginkan Kania ada di rak tertinggi. Dengan tingginya yang hanya 159 cm dengan sepatu flat, jelas tidak membantu sama sekali.

Meski demikian, Kania justru memilih untuk melompat untuk mendapatkan botol minuman itu. Meski Kania mendapatkan botol minuman yang diinginkannya, tapi botol-botol yang lain justru tercecer dan berantakan di lantai. Suara yang bergemuruh itu mencuri dengar sosok tegap yang ada di dekat Kania.

Saat Kania sibuk mengambil botol yang ada di lantai untuk mengembalikan ke tempatnya lagi, laki-laki itu justru ikut berjongkok untuk membantu Kania.

Seolah mengerti kebingungan Kania, bagaimana caranya untuk mengembalikan botol-botol itu ke atas rak, dia tersenyum kepada Kania sekaligus meminta botol yang Kania pegang untuk dikembalikan ke raknya.

"Terima kasih Pak, Abimanyu." Nametag yang menggantung di saku kirinya cukup mengisyaratkan siapa nama laki-laki tegap berseragam dinas putih lengan pendek berdasi dengan kedua saku di dada kanan kiri, celana biru navi dengan 4 setrip pangkat yang ada di pundak kanan kirinya.

"Sama-sama, Mbak, Kania, Kania Rajendra?"

"Iya," Kania sedikit terkejut dengan pertanyaan laki-laki tegap di depannya. Belum pernah bertemu tapi dia sudah mengetahui nama lengkapnya. Lamunan itu segera terkoyak mana kala matanya melihat bahwa Kania juga masih mengenakan nametag yang ada di dada kirinya.

"Maaf, anda pegawai bank sebelah ini?"

"Iya."

"Ehm, kebetulan. Bisa minta tolong, tadi saya mau masuk tapi sudah keburu dilarang oleh sekuriti karena jam kasnya telah selesai."

SQUADRON CINTA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang