[2] Pertemuan

12K 470 5
                                    

Sekitar 2 bulan yang lalu,

"Astaga nak.. Tadi kamu--" Sang bunda, Ami, memegang kepalanya yang terasa pusing setelah melihat kelakuan anaknya barusan.

"R-rey--aku pulang ya. Tante, saya permisi." Seorang wanita melenggang pergi dari situasi yang tidak memungkinkan saat ini.

"Rey--Yaampun nak.." Ami menghela nafas beberapa kali untuk menenangkan diri.

"Lima kali kamu bawa cewek kesini, lima kali juga mamah lihat kamu ciuman. Ini di rumah loh!"

"Jadi kalo di hotel, mamah ngebolehin?"

Ami menampar keras pipi anaknya. "Mamah gak pernah ngajarin kamu sikap bajingan kayak gitu. MAMAH GAK MAU KAMU SAKITIN PEREMPUAN TERUS, REY!" Kali ini Ami bersikap tegas dengan menampar pipi anak satu satunya.

"Aku salah, aku minta maaf." Ucap Rey.

Ami menggeleng, "Gak bisa, mamah gak percaya lagi sama kamu. Kamu harus nikah."

Rey tertawa keras. "Nikah? Pfftt--Aku mau dijodohin nih? Sinetron banget anjerr."

"Terima atau nggak, kamu harus terima permintaan mamah!"

Malam, 20.00

"Papah setuju dengan rencana mamah." Ucapan sang papah, Anto, membuat jantung Rey copot seketika.

"Soal tempat tinggal, nafkah, biar papah yang urus. Saat kamu lulus nanti, kamu bisa nafkahin sendiri keluarga kamu." Ucap Anto.

"Pah! Rumah tangga mana yang udah bangun keluarga, tapi masih ditunjang sama orangtuanya?!" Protes Rey.

"Ada, rumah tangga kamu nanti."

"Papaaaaah." Rengek Rey.

"Shut! Udah perawanin anak orang masih bisa bersikap manja kayak gitu!" Desis Ami.

"Mah, aku gak se ekstrim itu!"

"Papah udah salah besarin kamu. Bagaimana jika perempuan yang kamu cicipi minta tanggung jawab, Rey!?"

"Pah, aku—"

"Satu bulan lagi. Kamu bisa berhubungan sepuasnya dengan memiliki ikatan yang pasti. Mamah minta, kamu ubah sikap kamu!"

Rey meneguk ludah.

Bagaimana kehidupan bebasnya selama dua puluh empat tahun ia hidup? Bagaimana ia bisa mencicipi bibir wanita yang berbeda beda tiap hari? Bagaimana—

"Kuliah gak lulus lulus, hidup juga gak bener kayak gitu..."

"Bentar lagi lulus kok!" Ucap Rey tegas.

"Dari dulu kamu bilang bentar lagi bentar lagi, BENTAR LAGINYA KAPAN!?" Ami mulai naik darah.

Anto mengelus pundak istrinya yang naik turun karena marah.

"Urusan financial, biar papah tanggung sementara. Kamu bisa jalani rumah tangga kamu dengan damai."

"Paaaah—"

"Fara wanita dewasa, mamah yakin dia bisa urus bocah kayak kamu."

~~~


Sang Ibu berdeham keras.

"Pokoknya kali ini kamu gak ada alasan untuk nolak.

"Mah, ini udah beribu kali mamah nyuruh aku nikah. Aku ini perempuan, Mah. Aku gak bisa ngelamar cowok buat jadi suami aku!"

Fara mengacak rambutnya frustasi karena ulah sang mamah.

"Fara... Kamu udah umur dua puluh tujuh tahun, nak. Usia yang sudah matang untuk membangun rumah tangga. Apa kamu gak iri sama temen temen kamu yang sudah punya anak?"

"Iri?" Fara mendengus. "Malah aku ngehindarin pernikahan supaya gak ngurus anak. Aku dosen, Mah! Bisa jalan bareng mamah aja udah syukur, bayangin kalo aku punya anak!"

"Kamu bisa berhenti."

Fara mendelik tajam. "Mamah emang gak pernah ngerti. Ini pekerjaan yang aku impikan sejak dulu!"

"Ka-kalo gitu anak kamu bisa di titipin ke mamah, Far."

"Mamah pikir semudah itu?!" Fara mulai naik pitam. "Mamah gak pikirin masa masa mengandung? Sembilan bulan mah! SEMBILAN BULAN!"

"AISSSH!" Fara meninggalkan sang mamah, Ranti, lalu pergi lagi menuju tempat yang paling sering ia kunjungi. Dimana lagi kalo bukan di kampus.

Esok hari, 20.00

Fara melepas sepatunya asal, rasanya sangat letih untuk membungkuk hanya untuk melepas sepatu. Bagaimana tidak? Ia baru pulang setelah pergi ke kampus sejak kemarin.

Ya.. yang di dapat kelakuan mahasiswa yang membuatnya naik darah. Mereka semua habis karena mood Fara yang jelek kemarin.

"Fara, duduk." Ucap Papahnya, Galih.

Kalo udah serius seperti ini, dipastikan ini akan mengobrol soal rencana mamahnya, Ranti.

Fara menurut dan duduk di sebrang Papahnya yang menunggu Ranti selesai memasak.

"Udah jadiiiii, kita ngobrol sambil makan ya. Biar santai." Ranti meletakkan piring berisi hasil masakannya.

Fara mengunyah makanan dengan lesu, tak bersemangat.

"Soal rencana mamah kamu, Papah sangat setuju." Ucap Galih tiba tiba.

"Yang mau nikah siapa, sih!?" Fara mendentingkan sendok dengan keras.

"Fara, dengar. Selagi mamah papah masih ada, kita pengen melakukan hal yang terbaik untuk kamu."

Kalo sudah menyebut kata 'masih ada' Fara tak ada pilihan lain selain... Menurut.

Pertemuan, 1 week later.

"Reyyy! Senyum dong... Kan mau ketemu calon, masa cemberut mulu." Goda sang mamah, Ami.

Rey berdecak. "Mamah jangan bikin aku tambah kesel! Udah makalah gue di lempar, berkali kali gue buat sampe tuh kertas bisa bikin seratus pesawat."

"Oooh, abis dimarahin dosen, toh. Eh, tau gak, Rey? Calon kamu kan dosen juga!"

Rey mengernyit. "Mah, jangan bercanda! Aku udah muak sama kata dosen!"

"Nah, makanya hari ini kita ketemu supaya kamu bisa tanya tanya sama dia! Siapa tau dia bisa bikin kamu lulus cepet cepet."

Rey mendengus. "Kapan datengnya sih calon gue?! Terus, ini mau nongrong atau gimana ketemuan di mall? Emang gak dirumah terus pake batik itu ya?"

"Shutt.. Tuh mereka."

Ami menunjuk kearah calon Rey dan Ibunya. Tubuh Rey mundur seketika ketika melihat siapa yang datang. Ia meneguk ludah beberapa kali.

APA INI PRANK?

Ataukah Mimpi?

Jika memang mimpi, Rey ingin cepat bangun dan mencuci muka sambil mengucap, "Pait.. Pait.."

Ketika Fara melihat Rey, wajahnya masih saja tenang dan dingin. Bahkan tidak terkejut sama sekali, tidak seperti Rey yang mulutnya masih menganga.

"Jadi, kamu yang bakal jadi suami saya?"

Fara tersenyum miring.

Lanjut? Comment di bawah👇
Jangan lupa di voteee!!!

Pasutri Retjeh#2 - Nikahin dosen galakWhere stories live. Discover now