Bohong (500 terbaik penulis Ellunar Publisher)

85 8 0
                                    

"Sayang, teman kantorku, ibu Sofia minta anterin pulang. Kebetulan sejalur sih dengan rumah. Nggak apa ya?"

Adalah kebohongan pertama yang diucapkan pacarku dan aku memercayainya. Mungkin keadaan akan berbeda jika aku melarang ia mengantarkan rekan kerjanya tersebut. Tetapi, bagaimana mungkin aku tahu, bahwa sosok yang ia panggil 'ibu' itu adalah seorang gadis muda yang usianya setara dengan umur pacarku.

"Aku nggak pacaran sama dia. Hubungan kami cuma sebatas kerjaan."

Adalah kebohongan kedua yang ia katakan. Setelah aku diam-diam menemukan pesan mesra di ponselnya, juga ucapan sayang saling menggoda di akun media sosial milik pacarku, yang dia bilang telah lupa kata sandinya. Kebohongan demi kebohongan.

Ia melukai perasaanku. Perasaan seorang perawan yang serapuh sayap kupu-kupu. Aku menangis dalam diam, rasa perihnya sama seperti ditoreh dengan silet, teriris sedikit demi sedikit.

"Mereka itu cuma rekan kerja, wajar kalau sering sama-sama. Kamu aja yang terlalu cemburuan."

Bahkan orang terdekat pun membela dirinya. Fakta-fakta yang aku berikan dimentahkan begitu saja. Sampai aku tahu, sahabat kami ternyata mengenal dan sangat akrab dengan gadis bernama Sofia tersebut.

Seperti ada balon-balon kecil yang diletuskan dalam kepalaku ketika bukti demi bukti datang menghampiri. Foto-foto kebersamaan keduanya, laporan dari sahabatku yang melihat mereka menampilkan adegan romansa di muka umum dan sebagainya. Ini bukan kejutan yang menyenangkan, sungguh. Tangisku kembali pecah, kenapa ia tega membohongiku? Hubungan kami bukan baru kemarin sore terjaid. Kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan itu bukan waktu yang singkat, kan?
Pantas saja, ia mulai berubah. Salah satunya dengan selalu memilih malam lain untuk waktu kencan kami. Mungkin malam minggu ia berikan khusus pada pacar barunya itu, 'ibu' Sofia.

Akhirnya, aku memutuskan untuk berbicara langsung pada pacarku itu. Hal yang selama ini selalu ku tunda untuk dilakukan. Aku punya ketakutan yang kuat bahwa ia akan mengakui segala perbuatan itu. Jiwaku memang belum siap, bisa saja aku jadi depresi saat mengetahui kebenaran tersebut. Namun, harus sekarang. Ini saat yang tepat.

"Kamu pacaran sama dia?" tanyaku.

"Sudah berapa kali aku bilang, kami cuma rekan kerja!" ucapnya berkelit.

"Aku baca pesan mesra kalian di media sosial."

"Itu becanda doang."

Aku menghela napas berat. Mencoba mengendalikan emosiku yang hampir meluap.

"Kamu bilang, kita harus terbuka, kalo bosan boleh ngomong?"

"Kamu udah bosan sama aku?"

Ia membalikkan kata-kata tersebut dan membuatku gelagapan. Bukan seperti ini yang aku inginkan, tetapi rupanya ia berhasil memutarbalikkan keadaan.

"Kamu bosan, jadi cari-cari alasan. Hubungan nggak akan bisa bertahan tanpa kepercayaan. Jadi, apa kita putus aja?"

Tidak, ia mengancamku. Aku memang memang mendapat fakta,tetapi ternyata juga tidak siap jika harus kehilangan dirinya. Air mataku kembali menetes. 'Dasar gadis lemah,' rutukku dalam hati.

"Aku sayang sama kamu. Kamu pacar terbaik Thalia. Aku nggak mau kita putus. Jadi, aku mohon, percaya sama aku."

Kata-kata Samuel berhasil meluluhkanku. Namun, hati ini sudah terluka. Masih bisakah aku bertahan dan memercayainya?

***

"Kamu tahu Samuel punya pacar?"

Nada suaraku sedikit bergetar, tetapi aku mencoba tetap tegar. Aku juga sengaja menyalakan pengeras suara di ponsel yang sedang kugunakan ini.

"Iya aku tahu," jawab gadis di seberang dengan santai.

"Terus kenapa kamu ngodain dia?"

"Kata mama, selama janur kuning belum melengkung. Kita bebas buat jalin hubungan sama siapa saja."

Saat aku coba menghubungi "sang ibu", beginilah jawaban yang aku dapatkan. Bagai petir di siang bolong, ucapan Sofia itu benar-benar menghancurkan hatiku. Apalagi ia mengatakannya seperti tanpa beban. Samuel yang berada di sampingku diam tak bergerak. Bulir keringat sebesar biji jagung mengalir pelan dari pelipisnya. Cukup sampai di sini. Aku mematikan telepon tersebut dan bergegas pergi. Tidak peduli, seberapa keras Samuel coba memanggilku. Semua sudah selesai.

***

Siang ini aku sudah berada di rumah duka. Menghadapi tubuh terbujur kaku dan mulai mendingin milik Samuel. Semalam, Samuel bersama Sofia meninggal akibat kecelakaan. Mobil yang mereka kendarai mengalami kerusakan mesin, sehingga menabrak kereta api yang tengah melaju saat mereka hendak melakukan perjalanan keluar kota. Entah mungkin saja Tuhan mendengar keluhan umatnya yang teraniaya.

Namun, sebenarnya semalam aku bermimpi sama persis, seperti kejadian yang menimpa Samuel dan Sofia. Aku tidak sengaja memergoki mereka sedang berduaan. Kami bertengkar, dan Samuel mendorongku jatuh, sebelum menarik tangan Sofia untuk mengajaknya pergi. Aku menyusul mereka, tidak terima diperlakukan seperti ini. Terjadi kejar-kejaran di jalanan. Hingga akhirnya, kami harus melewati rel kereta api. Suara peluit kereta terdengar nyaring tetapi Samuel tidak berhenti, atau ia tidak bisa menghentikan laju mobilnya.

Aku hanya bisa menatap nanar dengan ujung bibir terangkat tinggi saat mengatakan, "selamat tinggal." Namun, semuanya hanya terjadi dalam mimpiku, sungguh!

The DrabbleWhere stories live. Discover now