Day Dream Prekuel: PROMISE

144 18 6
                                    

Suara debur ombak dan lambaian nyiur mengiringi tawa anak-anak yang tengah menghabiskan sorenya di tepi pantai. Nampak beberapa anak laki-laki bermain sepakbola, dan tiga bocah wanita sedang membuat istana dari pasir—yang satu terlihat masih balita.

"Masih kurang tinggikah istananya Putri Ayunda?" ujar seorang bocah berambut pendek yang sedang memainkan perannya sebagai dayang istana.

"Bagaimana kalau kita tambah satu tingkat lagi, wahai Dayang Ai. Sepertinya Putri Maura menyukainya," jawab bocah delapan tahun yang menjadi sang Putri tersebut.

Bocah balita yang berusia sekitar empat tahun—adik Ayunda—menepuk tangannya dengan gembira seraya menatap menara pasir yang kian tinggi.

Duubb..

Menara pasir yang mereka buat tinggi itu luruh seketika terkena bola sepak yang di mainkan oleh anak laki-laki. Menyaksikan hal itu, tangis Maura pecah. Sang ibu yang melihat dari kejauhan pun mengambil dan mencoba menenangkan anaknya.

"Maafin Mas ya Dek, nggak sengaja," kata salah satu anak laki-laki yang bermain bola menghampiri kedua bocah perempuan tersebut.

"Mas Arya harus tanggung jawab karena udah ngancurin istana Putri Ayunda!" teriak Ai marah.

Tatapan Arya tertuju pada Ayunda, yang matanya mulai di genangi air. Ia mengusap pelan puncak kepala bocah tersebut sambil bergumam.

"Mas minta maaf ya, Nda?"

Ayunda menganggukkan kepala kecilnya sambil menghapus airmata yang mulai meleleh di pipi.

"Nggak bisa gitu aja! Ai udah capek bikinnya! Pokoknya mas harus buatin istana baru lagi buat Putri Ayunda!" cecar Ai.

"Ini anak bawel banget sih, iya Mas bikinin lagi!"

"Kalau gitu, Ai yang gantikan Mas main bola, daahh!"

Ai segera mengambil bola sepak yang telah menghancurkan istananya dan menghambur ke arah para anak laki-laki untuk menyerahkan bola dan ikut bermain.

"Ayunda mau istana seperti apa?" tanya Arya setelah bengong sejenak melihat tingkah adiknya yang memang agak tomboy.

"Yunda mau istana yang punya halaman luas dan bangunannya tinggi, biar bisa ngeliat pemandangan indah," jawab Ayunda polos.

"Mas bikinin seperti yang Yunda mau. Serahin aja sama Mas Arya!"

"Tapi—." Wajah Ayunda berubah sendu.

"Tapi kenapa, Nda?"

"Tapi, istana nggak akan lengkap tanpa seorang Pangeran."

"Kalau gitu, Mas juga akan jadi Pangeran yang menunggang kuda dengan gagah. Pangeran siap mendampingi untuk menjaga dan melindungi Tuan Putri sampai kapanpun!"

Wajah Ayunda seketika cerah mendengar uraian dari Arya.

"Sampai kapanpun?" tanyanya kembali yang dibalas anggukan penuh tekad oleh Arya.

"Janji kelingking, yang ingkar berubah jadi kemoceng."

Arya tertawa kecil mendengar ucapan dari Ayunda dan menjawabnya dengan tegas. "Janji kelingking!"

Tawa mereka terputus ketika mendengar teriakan di kejauhan.

"Aaarrrrggghhh, turunin Ai, turunin Mas!"

Mereka kembali tertawa lebih keras ketika melihat kakak tertua Arya—Tama—memanggul adik bungsunya seperti sekarung beras sebelum menceburkannya ke bagian dangkal di tepi laut. Ai yang akhirnya basah kuyup memberengut marah mengibaskan tangannya yang basah untuk membalas dendam.

"Kalian juga harus basah! Rasakan ini!" teriak Ai seraya mengejak ketiga orang yang menertawakannya.

Sementara itu dari kejauhan tampak seorang anak laki-laki berusia duabelas tahun tengah memandangi mereka. Bibirnya menyunggingkan senyum menatap keriuhan yang terjadi.

"Kau sedang apa?" tanya sang kakak yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

"Melihat sunset," jawabnya singkat sambil masih menyungingkan senyum.

Aktivitas mereka terhenti ketika mendengar panggilan dari sang ibu yang berteriak dari dalam cottage tempat mereka menginap beberapa hari ini.

"Akira, Hide. Kita harus bersiap-siap untuk acara makan malam keluarga. Cepatlah!"

"Baik bu. Ayo Hide!"

Sembari beranjak, Hide menyempatkan sekali lagi memandang anak-anak yang masih saling menyipratkan air. Kali ini mereka semua sudah basah kuyup.

The DrabbleWhere stories live. Discover now