10 ✏️ Coming Soon, PIA Ardhya Garini

Mulai dari awal
                                    

Mobil Arfan yang dikemudikan Kania berjalan di atas rata-rata, suasana pagi memang mendukung. Jalanan masih lengang membuat Kania seolah lupa bahwa dia kini sedang di dalam mobil bersama calon ibu mertuanya. Ketika adzan Subuh terdengar sayup-sayup di telinga Kania, dia segera mencari masjid di pinggir jalan untuk segera menunaikan panggilan Rabbnya.

"Kowe ki kok jibles masmu, yen nyetir senengane mbalap. Alon-alon wae, Nduk," kata Arini selepas menunaikan sholat subuh.

Kania tersenyum malu-malu, "Nyuwun duka, Bu, lah wong margine lengang ngaten dadose sekeco menawi mbalap," jawab Kania dengan jujur.

"Opo mergo nandang wuyung karo masmu kiro-kiro?" ledek Arini menanggapi tawa renyah Kania.

"Ketawise, Bu," Kania menjawab pertanyaan Arini sambil tersipu malu. Bersamaan dengan tangan Arini yang mengelus lembut pundak Kania.

"Sing rukun karo masmu, yo? Yen ana apa-apa dirembug sing becik. Matur ibu menawa mas e ra iso dihubungi," pesan Arini kepada Kania yang dijawab anggukan olehnya.

Kania fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Arini sepertinya juga sudah terlelap dalam buaian mimpinya kembali. Perjalanan dari kota Kania ke Lanud Abdul Rahman Saleh, Malang memakan waktu 2,5 jam. Kania menoleh sesaat dan memastikan bahwa Arini nyaman dengan tidurnya.

Pukul setengah tujuh, Kania telah sampai di parkir utama tamu undangan upacara peringatan HUT TNI di Lanud Abdul Rahman Saleh.

"Ibu," suara Arfan memanggil Arini saat Kania dan Arini telah keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya.

Arini menyambut Arfan yang telah siap dengan pakaian dinas udaranya.

"Bagaimana, Bu, disetiri Dik Nia nggak mabuk, kan, tadi di perjalanan?" tanya Arfan setelah mencium tangan kanan ibunya.

"Persis kowe, Ngger. Sisihanmu iki jan nggawe jantung ibu meh cepot. Mbalap tenan oleh e nyetir, kandanono," kata Arini protes kepada Arfan meski dengan senyuman yang selalu tersungging di bibirnya.

"Ibu, yang penting tetap fokus. Kalau nanti Nia nyetir pelan-pelan. Pagi ini kita nggak bisa bertemu Mas Arfan sebelum berlaga di udara," jawab Kania dengan senyum yang tak kalah manis dari senyuman Bu Arini.

"Iya, Mas tahu kamu kangen sama Mas. Tapi nyetirnya ya tetep harus hati-hati, Dik. Ikuti kata Ibu, daripada nanti Mas dikudeta loh. Kan, kamu juga yang rugi, Dik." Kata Arfan mengerling manja kepada Kania.

"Mas Arfan apaan sih?!"

"Sudah, kalian ini, Mas Arfan ini belum sah sudah seperti ini. Nanti kalau sudah sah kamu mau seperti apa?" ucap Arini sambil mencubit lengan kanan putranya.

"Kania maunya seperti apa?" Masih juga Arfan menggoda Kania sehingga Arini tak pelak mencubitnya sekali lagi.

"Rasa rasanya memang sebaiknya kalian segera dihalalkan. Ibu khawatir kalau kalian seperti ini berdua saja," ujar Arini diiringi seringai nakal Arfan kepada Kania.

Kania membutuhkan waktu satu jam untuk siap dengan pakaian kebaya dan bersolek menyesuaikan dengan pakaiannya. Arfan memang meminta salah satu temannya untuk mengantarkan Kania dan ibunya ke salah satu mess untuk mereka beristirahat dan bersiap menjelang upacara dilaksanakan. Upacara puncak dimulai pukul 10.00 undangan biasanya datang satu jam sebelum upacara dilaksanakan.

Mematut dirinya di depan cermin. Hati Kania kembali membuncah dan berbunga-bunga. Masih seperti mimpi rasanya dan tak pernah terbayangkan akan secepat ini, setapak kemudian Kania harus siap dengan gelar barunya. Nyonya Kania Arfan Aldebaran, anggota Pia Ardhya Garini mutlak atas nama suaminya.

SQUADRON CINTA [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang