Part 7 (Bab 4 Buku)

8.9K 219 6
                                    

Di mana ini? Gelap.

Namun suara-suara sepertinya kukenal. Ibu, Ayah, Audy, Gina.
Ibu dan Ayah selalu tertawa.

Mereka menceritakan apa saja padaku, cerita-cerita lucu. Tentang Pak Amat pemilik warung sebelah rumah yang selalu melucu saat pembeli mengerumuni dagangannya. Banyak hal baru yang membuatku tersenyum saat mereka datang.

Audy lain lagi, dia sudah punya kekasih. Tapi katanya jangan beri tahu Ayah karena orangtua itu suka menodong 'kapan nikah' pada teman lelaki yang putri-putrinya kenalkan. Hatiku tertawa kecil dan berjanji akan memberi tahu Ayah.

Gina unik. Karena dia tidak bisa melucu, makanya selalu membawa Jemmy teman kampusnya. Anak tersebut selalu datang dan berorasi layaknya stand up comedy di hadapanku. Sejak kapan si Gina punya teman sekocak itu? Hari-hariku tak lepas dari tawa riang keluarga.

Tetapi kenapa aku tak bisa membalas lelucon mereka? Kenapa bibirku sulit sekali digerakkan? Sekadar untuk tersenyum kala mereka bergurau. Kan tidak sopan saat bercanda dengan lawan bicara tetapi kita tidak tertawa. Kenapa tubuh ini kaku dan dingin? Mati rasa. Gelap.

Kadang saat sepi datang, dia menelanku. Membawa anganku kembali ke masa-masa kelam.

Wajah-wajah mengerikan memantul lewat kelam. Entahlah. Kenapa pekat serupa malam itu bisa menggambar wajah seram?

Amukan, makian, sindiran. Menggema bagai seriosa berulang-ulang. Saat kelebat itu datang, maka hatiku ikut meradang. Luka lama yang tak kuingat bentuknya menari-nari dalam ingatan. Hanya sakit terasa.

"Reva! Dia sadar! Panggil dokter!" Ibuku berteriak.

Mataku mengerjap menyesuaikan pada cahaya yang masuk. Silau. Namun hanya sebentar. Saat itu juga, untuk ke sekian kalinya, aku sadar sedang berada di ruangan putih. Kepalaku sakit. Dokter dan suster mengelilingiku. Mereka memeriksa denyut nadi dan tekanan darah. Setelah dirasa normal, mereka berlalu.

"Sakit, Bu!" Aku mencoba menggerakkan tubuh, tapi nyeri menyerang beberapa bagian.

Lantas aku memekik. Tubuhku kaku. Ibu terdengar panik. Suster yang masih tinggal menyuntikkan sesuatu pada lenganku dan berangsur-angsur rasa sakit itu berkurang.

"Aku kenapa, Bu?" Hanya itu yang terucap. Memoriku tak dapat mengingat apa pun.

Ibu tersenyum manis. "Syukurlah kamu tidak apa-apa, Nak. Ibu khawatir," sahutnya.
Namun itu tidak menjawab pertanyaanku.

"Aku kenapa, Bu? Badanku sakit semua. Rasanya remuk. Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?"

Kulihat tangan dan kaki kanan berbalut perban tebal. Seperti orang baru patah kaki. Apa sebabnya? Setahuku patah parah seperti ini dikarenakan jatuh dari tempat tinggi.

Ah ... tempat tinggi!

Ingatanku berlarian kejam. Wajah Ucu yang ingin mendukuni aku, suara-suara rencana licik mereka, pemaksaan dan pengurungan di kamar. Tali selimut dan jatuh dari lantai tiga jendela kamar. Semua berkelebat begitu saja. Aku memekik. Tangan ini spontan menangkup kepala. Air mata membanjir. Aku menggapai-gapai pada Ibu. Tulangku berderak-derak.

"Tolong Reva, Bu. Mereka pikir Reva gila. Tolong, Bu ... jauhkan Reva dari mereka! Selamatkan Reva!" Aku membelalak. Jantung berdegup cepat. Nyeri menyerang seluruh sendi dan kerangkaku. Sakit.

Dokter datang dan menyuntikkan sesuatu.

Tidak! Jarum itu tajam seperti pagar rumah mertuaku.

Ah, jangan tusuk!

Aku mencoba menepis tangan dokter, tetapi perawat lebih cekatan.
Kemudian aku tenggelam dalam efek obat penenang.

***

SANG MENANTU (Tamat)Where stories live. Discover now