Part 6 (Bab 4 Buku)

5.7K 174 3
                                    

Hari-hari kulalui dengan hampa. Seminggu setelah kuret, tubuh berangsur pulih namun tidak dengan mentalku. Semua orang menjauh, termasuk suamiku. Dia tidak menyinggung masalah apa pun. Seperti biasa, hanya sibuk dengan pekerjaan dan tertidur saat sudah selesai. Tak ada perhatian, tak ada cinta. Pedih.

Keluarga yang lain apalagi. Istri paman Bang Ridho dan Ibu mertua masih menegur seperti biasa, namun tidak ada kehangatan di sana. Hanya basa-basi ringan yang kaku lalu berlanjut pekerjaan rutin harian. Mereka seolah tak mau peduli ataupun ikut campur urusan rumah tanggaku.

Ayah mertua sangat sedih melihat fakta kehidupanku namun hanya membesarkan hati ini dan menyarankan untuk lebih banyak bersabar. Aku mengiyakan meski darah di luka jiwa takkan terobati dengan hanya disuruh bersabar.

Perasaanku kelam. Jika di awal hanya terasa kosong dan hampa, tidak dengan sekarang. Kegelapan itu kian menelanku. Pekatnya warna iblis menaungi hati kecil.
Ingin pergi dari semua ini dan kembali pada Ayah dan Ibu.

Namun, suara lain menegaskan bahwa inilah risiko dari pilihan hatiku. Bukankah Ibu telah melarang untuk menikah dengan Bang Ridho? Beliau berkali-kali merayu untuk membatalkan pertunangan, namun cinta sudah membutakan hati ini.

"Pernikahan tidak hanya mengikat dua orang, namun membawa seluruh keluarga di belakangnya. Jika seorang lelaki bisa kau nikahi tapi keluarganya tidak, maka urungkanlah ikatan itu karena takkan berjalan lancar." Pesan Ibu terngiang dalam pikiranku.

Apakah aku telah salah dalam menjalin hubungan ini? Apakah ini karma untukku karena melawan nasihat Ibu?

Setiap malam aku tidak bisa memejamkan mata, karena jika sekali saja terlelap, maka sebuah lubang hitam menyedot nurani hingga membangunkan raga.
Sakit kepala dan mual terus menghantui. Bukan mual kehamilan, tapi entahlah.

Rasanya tubuhku semakin kurus dan renta karena jarang sekali makan. Tidak ada nafsu sama sekali saat melihat makanan. Bang Ridho berkali-kali memaksaku, namun selalu enggan kuacuhkan. Tidak, aku tidak ingin mati kelaparan. Aku hanya tidak ingin makan.

Ucu dan seluruh keluarga mengabaikan diriku. Namun Dena tetap terampil dalam hal menyindir. Biasanya aku tak mengerti apa yang dia katakan, tetapi sakit hati akibat perkataan busuknya tetap menoreh luka pada nuraniku yang bernanah.
Terkadang air mata keluar tanpa alasan, begitu juga tawa.

Kadang aku ingin tertawa terbahak-bahak sekaligus menangis. Aneh, nampaknya diriku mulai gila.

Dulu saat masih bersama si jabang bayi, sore hari seperti ini akan ada dendangan merdu buatnya. Lagu-lagu bahagia kulantunkan sembari mengelus malaikat kecil itu. Artikel di internet mengatakan, janin tiga bulan hanya sebesar kepalan tangan.

Namun, dia sudah bisa mendengar suara dan mengerti emosi sang ibu. Itulah sebabnya wanita hamil wajib bahagia. Lucu sekali saat aku menceritakan dongeng kemudian seolah ada yang merespons dari dalam. Mungkin hanya perasaanku, namun itu sangat membahagiakan.

Bibirku tersenyum mengenang memori indah. Padang ilalang di samping rumah menjadi saksi tawa canda pada jabang bayi itu. Sekarang, saat kuusap peranakan, hanya dendam dan api amarah terasa. Semua gara-gara mereka yang mencabut nyawa anakku.

Jika sudah begitu, maka aku akan berteriak nanar dan menghancurkan seisi ruangan. Aneh, namun aku senang melakukan itu. Amarah ini reda, tetapi melihat kehancuran dan wajah-wajah kusut yang menuding diriku gila membuat jiwa ini bersedih. Kendati demikian, mulutku tersenyum. Wah, nyatanya kelakuanku benar-benar di luar akal sehat!

Gejolak perasaan menghantam bertubi-tubi. Saat marah, maka aku merasa wajib menghancurkan semuanya, bahkan mengancam akan membunuh seluruh keluarga Bang Ridho. Saat sedih lain lagi, aku akan meratap berkepanjangan. Air mata tak henti mengalir, tentunya diperparah dengan tidak adanya tempat mencurahkan isi hati. Suamiku? Kudoakan dia mati saja.

Namun, ada hal tak terduga menghampiri hidup. Sayup-sayup terdengar suara keluarga Bang Ridho tengah merencanakan sesuatu. Saat itu aku kebetulan lewat depan kamar Ucu. Mereka berbincang keras. Aku menempelkan telinga di pintu demi mencari tahu.

"Kita harus obati, Mak. Dia sama kayak mertuanya dulu. Mungkin hantu itu kembali dan menularkan kutukan gila pada Reva." Suara Ucu menguar.

"Sepertinya kau benar, Cu. Dia nampaknya mulai tak waras. Gejalanya seperti Srianiah dulu. Mamak merinding, Cu." Suara Nenek menimpali.

"Iya, benar itu, Mak. Kita panggilkan Ki Derot. Dia, kan, dukun kepercayaan Mama, adiknya Mak Kerot."

Aku bergeming. Mereka akan mendukuniku. Aku tidak gila. Aku masih waras. Harusnya mereka yang bersalah dan minta maaf.

Keluarga jenis apa yang kupilih ini?

"Tapi kita harus cepat sebelum Ridho dan ayahnya pulang. Besok mereka kembali dari tugas luar kota. Waktunya mepet," sahut Nenek.

"Tenang saja, Mak. Aku sudah menghubungi Ki Derot. Dia akan datang besok pagi. Bagaimana?" Suara Ucu terdengar puas.

Hatiku patah lagi. Mereka pasti akan berbuat buruk padaku. Mereka pikir aku gila dan kerasukan jin sehingga harus memanggil dukun. Aku mesti pergi sekarang. Tidak bisa berada di sini terus. Mereka akan membunuhku.

Aku berbalik hendak berlari ke kamar. Namun Dena menangkap tanganku dan berteriak sehingga Ucu dan Nenek keluar. Sekuat tenaga aku meronta hendak berlepas diri, tetapi Ucu dan Dena mengapit tubuhku. Nenek juga memanggil dua anak buahnya dan menggiringku ke kamar.

"Nek, jangan dukuni Reva. Reva nggak gila, Nek."

Nenek terdiam. Hanya menatap dari jauh saat algojo menyeret tubuhku kasar. Ucu dan Dena tersenyum puas.

Aku dikurung di kamar semalaman. Semalaman pula tak bisa tidur karena resah dan takut. Handphone raib entah ke mana. Dari lubuk hati, aku menduga bahwa ini memang sudah direncanakan oleh mereka.

Aku terbangun saat cahaya matahari mencolok mata. Terkejut, duduk di kasur dan gelagapan. Entah kapan aku ketiduran karena panik. Itu tidak penting. Aku harus pergi sekarang. Jendela kubuka. Hanya ini satu-satunya jalan.

Grek ... grek ... grek.

Seseorang memutar kunci dari luar.

"Cepatlah! Ki Derot sudah datang!"
Suara Ucu lantang terdengar.

Aku secepatnya mengunci pintu dari dalam. Mereka panik saat tahu pintu kukunci. Ucu menggedor kasar.

"Reva! Buka!" Mereka masih berusaha membuka pintu. Gagangnya naik turun tanpa membuahkan hasil.

Aku panik. Aku harus cepat!

Jendela terbuka, aku mengintip keluar. Tinggi.
Aku fobia ketinggian. Jarak pandang mengecil sedemikian rupa. Aku menggeleng. Demi meloloskan diri, ketakutan ini harus tenggelam.

Secepatnya kuikat selimut satu per satu hingga jadi tali yang kuat untuk pegangan. Aku mengikat salah satu ujung pada kaki ranjang, yakin bisa menopang tubuhku dan ujung satunya menjuntai ke bawah.

Membaca basmalah kemudian mulai menuruni tali. Apa hendak dikata. Baru satu meter perjalanan, Ucu dan dua algojo berhasil mendobrak pintu kamar. Wanita itu berteriak manakala melihatku turun. Algojo menarik tali selimutku ke atas. Tidak! Kali ini aku tidak akan mengalah.

Refleks tanganku melepaskan diri tanpa tahu bahwa jarak tubuh dan tanah masih sangat tinggi. Aku tergamam dalam sepi, jiwa kelamku meringis.

Aku akan mati.

Mati!

***

Bersambung

Btw guys, cerita ini sudah dibukukan setahun lalu. Jadi, akan kuposting sampai tamat ya. Tapi tidak setiap hari, kira-kira 4 hari satu part.

Nah, buat yang terlebih kepo sama ceritanya dan tidak sabar menunggu, maka saya sarankan belilah novelnya. Ada juga cerita #MENANTU_MENANTU oleh Happy Trisna di dalamnya. Inbox aja cuma 68 K.

Sekali lagi, cerita ini akan saya posting sampai tamat di KBM. Jadi sabarlah menunggu. Yeay.

Btw yang mau membeli novel #CINTA_SANG_HACKER dan Antologi Thriller #THE_DARKEST_SOUL silakan hubungi wa 087772120726

Nantikan kisah pedih REVA dan RIDHO selanjutnya. Assalamualaikum.

SANG MENANTU (Tamat)Where stories live. Discover now