Part 3 (Bab 2 Buku)

8.2K 167 1
                                    

Bab 3

Selama tiga hari berjibaku dengan kepadatan acara membuat tubuh ini lelah. Akhirnya semua selesai dengan lancar. Namun ada efek samping yang kurasakan. Seminggu setelahnya, penat tidak juga hilang, malah semakin bertambah. Untuk berdiri saja malas, apalagi harus bangun pagi-pagi sekali demi menyiapkan sarapan.

Tanpa sadar mataku kembali terlelap sedangkan azan subuh telah berkumandang. Rasa-rasanya raga ini sudah bangun dan mengubek-ubek dapur untuk memasak. Tetapi ternyata aku salah, matahari bersinar terang saat terbangun. Suamiku tidak ada di sisi. Terburu-buru aku turun dan pergi ke dapur.

Semua orang menatap. Mereka telah duduk di meja makan dengan lauk pauk terhidang. Canggung melanda jiwa, hendak balik lagi ke kamar aku tak bisa. Namun jika ikut duduk maka tak tahu malu namanya.

"Duh, menantu. Baru bangun. Udah jam enam. Habis begadang, ya. Telat banget." Ucu berceloteh riang.

Aku menghampiri meja makan dan duduk di salah satu kursi. Semua orang memandangku aneh. Termasuk Bang Ridho. Apa? Kenapa?

"Menantu, setidaknya sebelum makan, mandi dulu. Semua orang di rumah ini adatnya begitu." Suara manis mendayu-dayu itu kembali mencecarku.

Lantas aku berdiri dan kembali ke kamar untuk mandi, meninggalkan tatapan mengejek dari semua orang.

"Adek kenapa? Kan sudah tahu bahwa jangan pernah bangun telat dan mandi setelah bangun tidur. Nenek hampir marah tadi, tapi udah Abang tenangkan."

Suamiku menggerutu sementara aku sibuk menyiapkan baju kantornya.

"Adek tak enak badan, Bang. Baru-baru ini cepat pegal dan lelah. Adek sudah berusaha bangun tadi tapi ketiduran lagi. Maafkan Adek, ya, Bang," ujarku.

Bang Ridho tersenyum dan mencium pipiku lembut.

"Lain kali jangan diulangi, ya. Abang sayang sama Adek. Abang nggak mau Adek dikomentari biar sedikit. Oke?" Dia mengecup puncak kepalaku dan berpamitan hendak ke kantor.

Apalah daya. Jika aku tidak bisa memuaskan kehendak semua orang, maka apakah itu salah?

Setelah berkemas aku pergi ke dapur. Perut berdemo karena belum kemasukan makanan sejak pagi. Situasi sepi. Sepertinya para lelaki sibuk dengan pekerjaan sedangkan para wanita entah ke mana. Mungkin sedang bergosip di suatu tempat.

Ah, kenapa aku jadi ikut berpikir negatif? Buru-buru kuucap istigfar. Benar kata pepatah, lingkungan tempat kita tinggal sedikit banyak berpengaruh kepada kepribadian. Maka berteman dengan penjual parfum akan kecipratan wangi begitu pula sebaliknya.

Aku mengambil sepiring nasi dan lauk pauk kemudian duduk melantai di sudut dapur. Aroma ayam goreng dan sambal durian menusuk penciuman.

Air liurku hampir menetes. Aku menyantap hidangan dengan lahap. Baru-baru ini nafsu makan meluap-luap. Ingin makan terus. Entah apa yang terjadi padaku.

Saat setengah piring tandas, aku dikejutkan dengan kehadiran Ucu. Dia bersandar di tembok sembari berkacak pinggang. Aktivitas makan terhenti. Tiba-tiba rasa nasi jadi pahit.

"Santai melantai kayak pembantu. Setidaknya makan di meja makan," ketusnya padaku.

"Reva biasa begini di rumah, Cu," sahutku pelan.

"Adat di rumahmu dan di sini beda. Jangan bawa-bawa kebiasaan buruk. Kita ini keluarga berada. Lihat tingkahmu, lihat pakaianmu! Setidaknya berpenampilanlah seperti Dena. Tiru gaya dia. Ah, sudahlah. Percuma saja baju butik seharga jutaan kami hantar buatmu. Tak ngefek sama sekali."

Nasiku mulai dingin. Nafsu makan memudar. Ocehan Ucu bagai obat pahit yang harus kutelan.

"Maafkan Reva, Cu. Reva akan makan di meja dan setelahnya ganti baju," ujarku.

SANG MENANTU (Tamat)Where stories live. Discover now