Part 5 (Bab 3 Buku)

6.3K 194 2
                                    

"... keguguran."

Suara siapa?

Netraku mengerjap, pandangan kabur meliputi mata. Ruang putih ini lagi. Bau kimia obat tercium familier. Aku di rumah sakit. Dokter memandangiku. Dalam sekejap dia sudah berada di samping dan memeriksa denyut nadi. Tersenyum ramah.

"Ibu baik-baik saja? Masih pusing?" tanya dokter itu.

Aku mengangguk. Dia kembali tersenyum kemudian melangkah ke arah Bang Ridho. Mereka sepertinya membicarakan sesuatu. Suamiku hanya manggut-manggut. Tak lama setelah itu, sang dokter berlalu.
Bang Ridho mendekatiku dan duduk di sisi ranjang. Dia meremas jemariku. Wajahnya berawan. Ada apa?

Dia mengusap kepalaku, tatapannya sendu.

Ah, tiba-tiba perutku nyeri. Hanya sedikit tapi membawaku ke memori sebelum diri ini terdampar di sini. Pertengkaran dan darah. Darah yang banyak.

Jemariku tersaruk menyingkap selimut untuk menyelidiki kebenaran. Tidak, tidak ada darah. Tetapi sesuatu mengganjal di bawah. Seperti saat aku sedang haid. Aku menatap nanar kepada suamiku. Dia menunduk.

"Bayiku, Bang. Bayiku. Pasti terjadi sesuatu!" Aku mengguncang bahunya.

"Katakan, Bang!" pekikku.

"Adek ... keguguran."

Aku melihatnya tak percaya. Tetapi rasa hampa yang bersarang tepat setelah dia memberitahukan fakta itu terasa nyata. Kosong.

Mataku membelalak. "Abang bohong!!"

Dia masih tertunduk lesu. "Adek, sabar."

Sabar. Hanya itu yang terucap.

Seketika duniaku runtuh. Betapa jiwa ini telah mengikat sang janin dengan cinta yang besar bahkan sebelum dia terlahir. Menunggunya hadir ke dunia adalah kekuatan terbesar yang kumiliki setelah dicampakkan berkali-kali oleh semua orang.

Janin yang mulai terasa keberadaannya. Bahkan sebelum dia menendangku, gelombang rahim saat dia berenang gesit di dalam menggelitik dan membuatku tertawa. Dia juga mencintaiku sama seperti diriku menyayanginya. Hanya dia satu-satunya sandaran ketabahan yang kumiliki setelah ayahnya pun tak mengacuhkanku secara terang-terangan.

Aku ... kacau. Sesuatu ingin meledak. Apa ini? Cinta mendalam. Kesedihan. Pengkhianatan.

Air mataku membanjir. Ya Allah, betapa besar cobaan hidupku sehingga melibatkan nyawa jasad mungil yang sudah Kau tiupkan ruh ke dalamnya.

Hanya suara pekikan kekecewaan yang keluar dari kerongkonganku. Aku hancur.

Kemudian semuanya tenggelam dalam pekat.

***

"Reva." Suara Ibu.

Aku mengerjap mencari sosoknya. Beliau duduk di sebelahku, menggenggam lenganku. Seketika air mata ini tumpah. Ibu memeluk erat. Dekapan hangatnya mengalirkan kasih bertubi-tubi untuk jiwaku yang hampa.

"Ibu, bayiku. Anakku, Bu. Dia ... tiada."
Suara sesenggukan tersendat-sendat mengalun melalui tenggorokan kering.

Ibu mengusap punggungku. Beliau pasti mengerti penderitaan ini.

"Bersabarlah, Sayang. Insya Allah anakmu pulang ke surga dan dia akan menyeret ibu bapaknya ikut bersama dia jika kalian ikhlas."

Beliau memandang Bang Ridho yang ikut tertunduk lesu di ujung ranjang.
"Kenapa, Bu? Padahal dia baik-baik saja selama ini."

Aku menyangkal segalanya. Bukan tidak ikhlas, hanya saja ... diri ini masih tidak percaya. Sulit rasanya untuk ikhlas semudah itu.

"Kandunganmu lemah. Kata dokter banyak komplikasinya. Selain lemah juga plasenta previa sehingga rawan keguguran. Kalaupun bertahan, maka melahirkan tidak bisa normal, harus caesar. Plasentanya di bawah."
Apa? Kenapa aku tidak tahu ini?

SANG MENANTU (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang