Part 1 (Bab 1 buku)

36.8K 274 4
                                    

Kilatan emas pagi itu menjilati netraku, sebentar saja. Namun dalam dua detik,  angan ini melayang. Kilas balik peristiwa selama hidup tergambar mundur, dari titik ini sampai masa paling muda dalam hidup.

Mataku memejam. Tubuh melayang jatuh, tiga lantai jauhnya melewati dinding kokoh rumah mertua indah dengan jendela kamar  yang masih terbuka, saksi bisu tempat aku memutuskan untuk melepas genggaman penopang diri demi menghindari neraka di baliknya.

Sepersekian detik berikut kurasakan seluruh daging dan kerangka ini  menghantam lantai semen. Sakit! Sekujur tubuh nyeri luar biasa, ingin berteriak karena pedihnya namun bibirku kelu. Menatap nanar ke atas.

Ah, baru kuingat bahwa rasa sakit ini konsekuensi yang terpaksa agar batin lepas dari belenggu setan. Lamat-lamat bibir menyunggingkan senyuman terakhir.

Selamat tinggal, dunia.

Pandanganku mengabur kemudian semua gelap.

"Apa lagi yang kalian tunggu? Cepat angkat!" Suara siapa?

"Reva!!! " Seseorang meraung. Ibu mertuaku. Tubuhku mati rasa.

"Tolong buat istrinya tetap sadar, Pak. Dia tidak boleh tertidur." Sepertinya itu suster.

Ada apa ini? Kupikir aku akan segera tiada. Kenapa masih mendengar suara-suara mereka?

"Dek, jangan tidur, ya. Tetap terjaga. Ayo, cepat ... cepat! Ngapain ramai-ramai di situ? Suruh mereka bubar!  Ambulans mau lewat." Bang Ridho terdengar cemas.

Tubuhku terasa berguncang ke sana kemari. Suara denging sirene ambulans memekakkan telinga. Dulu saat di jalanan, ambulans sering lewat membawa pasien dan aku sebagai pengguna jalan memprioritaskan mereka. Sekarang nasib membawaku memasuki mobil putih ini.

***

"Ibu khawatir, Yah. Keluarga Ridho punya tabiat kurang baik. Terutama Ucu itu, lho. Ibu kurang suka dengan tajam lisannya. Ibu ragu, Yah. Bagaimana ini?"

Suara Ibu terdengar gusar. Ayah yang diajak bicara nampaknya terdiam, mungkin beliau sedang berpikir keras. Itulah tipe Ayah, berpikir sebelum bicara. Aku yang menguping lewat pintu kamar juga bergeming. Mereka pasti sedang membicarakan Ridho dan keluarganya.

"Bagaimana lagi, Diah? Kau, kan, tahu hubungan mereka sudah terjalin kuat. Acara lamaran pun sudah digelar. Beberapa minggu lagi mereka akan menikah. Sebaiknya kita cukup mendoakan. Bukankah tugas orangtua seperti itu?" Ayah akhirnya buka suara.

"Tapi, kan ...."

"Jangan ragukan masa depan hubungan anak, walau tak terucap bisa jadi kita sudah mendahului takdir Allah. Sebaiknya berprasangka baik dululah."

Aku beranjak menjauh saat tidak ada lagi perbincangan yang terdengar. Kemudian menuju kamar dan berdiam diri, memikirkan perkataan Ibu. Beliau sangat khawatir mengenai hubunganku dan Abang Ridho, terutama masalah keluarganya yang suka menyindir.

Dari awal Ibu sudah mewanti-wanti untuk memutuskan Ridho, meski dia baik. Tetapi kata beliau, saat dua orang anak manusia menjalin kasih, maka bukan hanya mereka berdua yang terpaut tetapi juga seluruh keluarga besar. Dan menurutnya keluarga Ridho bukanlah orang-orang yang pantas untuk digauli.

Kecaman mereka saat kami berpacaran sukses membuat Ibu meragukan Bang Ridho, namun berkali-kali itu pula lelakiku berhasil meyakinkan beliau akan besarnya cinta yang dia miliki.

Tak sampai di situ saja. Saat acara lamaran dihelat, ada saja kata-kata pedas yang terucap dari bibir manis keluarganya. Terutama satu orang itu, Ucu Idah.

"Rumahnya kecil, mana muat nampung kita serombongan. Duh, ruang tamunya sesak." Ucu mengibas ujung kerudung, bermaksud hendak menciptakan angin kecil pengusir panas. Waktu itu Audy, adikku yang nomor dua tak sengaja mendengar bisik-bisik mereka.

SANG MENANTU (Tamat)Where stories live. Discover now