Tigapuluhdua

2.1K 197 13
                                    

Pikiran gue lagi pusing tujuh keliling. Gila ini gue gak habis pikir. Kenapa sih dunia sempit begini rasanya? Dan abang gue sendiri kenapa gak bilang ya sama gue?

Sekarang, gue sendiri bingung harus gimana. Gue gak nyangka kalo ini ternyata kantornya Kak Sehun. Astaga. Padahal gue udah males buat ketemu dia lagi. Udah muak beneran gue sama dia.

Gue yang lagi ngetik dengan wajah tegang penuh pikiran, langsung terkejut karena tiba-tiba ada tumpukan kertas di atas meja kerja. Gue melotot melihat tumpukan kertas di hadapan gue dan menatap Jennie seketika.

"Maksudnya apaan ini?" Tanya gue.

"Lo lembur hari ini. Itu, lo disuruh periksa bagian yang salah. Nanti, gue sama Joy yang nge-revisi" Jawab Jennie.

Gila aja ini gue disuruh merhatiin satu-satu.

"Hari ini harus jadi?" Tanya gue. Jennie mengangguk, "Lusa harus udah masuk ke manajer. Nanti, kalo ada typing yang salah, lo tandain. Besok harus gue revisi soalnya" Jawab Jennie.

"Oke. Ini perusahaan emang niat banget ya ngerjain gue" Ujar gue.

"Sok tau. Gak cuman lo aja kok, Na. Karyawan lain juga, kok. Santai" Balas Jennie lalu meninggalkan kubikel kerja gue.

Walaupun pikiran gue sulit untuk fokus, mau-gak-mau ini harus ngejar kerjaan. Pokoknya harus fokus. Hampir sebulan kerja di sini. Ayo.

🐺🐺🐺

Jam dinding menunjukkan pukul 8 malam. Ini adalah waktu terpanjang gue di kantor untuk pertama kalinya. Ya lo bayangin aja. Baru aja gue kerja di sini, udah ngerasain penderitaan yang bikin gue mengumpat berkali-kali dalam hati.

Ponsel gue bergetar lama menandakan ada panggilan masuk.

'Papa'

Gue langsung mengangkat panggilan tanpa ragu lagi.

"Halo"

"Isyana, kenapa belum pulang?"

"Aku lembur, Pa. Nanti kalo aku udah pulang, aku telepon abang deh, ya"

"Masih di kantor?"

"Iya"

"Sendirian?"

"Kalo di ruangan aku ya cuman aku aja. Tapi gak masalah, Pa. Aku harus terbiasa"

"Ya gak bisa begitu. Nanti kamu capek, kesepian, ya masa begitu mulu. Kamu perempuan, loh ya"

"Ini perusahaan besar, Pa. Resiko-nya ya begini, kan?"

Gue mendengar Papa mendesah pelan dari telepon.

"Ya sudah. Terserah kamu saja, Na. Nanti inget, jangan lupa hubungi orang rumah kalau sudah pulang. Jangan pulang sendiri"

"Siap"

Pip.

Papa sudah mengakhiri panggilannya terlebih dahulu. Lalu gue meletakkan ponsel dan kembali berkutat dengan berkas ini. Baru juga dapat setengah tumpuk. Mata gue udah ngantuk berat ini. Gue juga laper.

Kepala gue udah mau jatuh aja rasanya. Mata gue udah males aja rasanya ngebaca secara detail setiap huruf dalam kertas ini.

Gue meletakkan pulpen sebentar lalu meletakkan kepala di atas meja. Merem dulu biar nanti bisa lanjut kerja lagi. Susah amat ya kerja. Ini kah rasanya jadi orangtua yang selalu kerja untuk anaknya? Ternyata, nyari uang itu susah.

Beberapa menit kemudian, gue nyaris terlelap sebelum ada bunyi yang mengangetkan gue.

"EH KODOK EH KODOK!" Latah gue karena kaget. Gue langsung melek dan duduk tegak.

Gue mendapati seorang pria dengan setelan kemeja polos sedang berdiri di samping gue sambil membawa minuman kaleng. Dia menatap gue dengan wajah datarnya. Gue harus mendangak untuk melihat wajahnya.

Ah, ini orang. Bisanya nyusahin gue mulu. Padahal gue lagi gak mau ketemu sama dia.

"Hai" Sapanya singkat.

Gue cuman menatapnya sinis lalu kembali sibuk berkutat dengan kertas-kertas lagi.

"Ini" Katanya sambil memberikan minuman kaleng yang se-daritadi dipegang dan itu kopi.

"Hah?" Tanya gue sok basa-basi.

"Kamu bisa gak fokus kerja kalo masih ngantuk. Jadi, kamu harus minum ini" Ujarnya.

"Oh. Gak usah. Saya masih kuat" Jawab gue datar.

"Dengerin aku"

"Saya butuhnya tidur, Pak" Balas gue.

"Ngeyel banget sih ini orang" Gumamnya lalu membuka minuman itu dan dia taruh di atas meja kerja gue.

"Kalo kayak begini, yang ngeyel siapa?" Tanya gue.

"Semuanya. Kamu ngeyel, aku juga" Jawab orang itu.

Gue menatap dia, "Bisa gak sih, gak usah pake aku-kamu lagi? Apalagi ini masih jam kerja bahkan kantor. Kalo bisa pergi aja deh sana" Tanya gue.

"Masalah?" Tanyanya balik.

"Emang ya, keras kepala banget anda itu"

"Dan kamu juga" Balasnya tak kalah menyebalkan.

"Pak, bisa tidak anda pergi dari tempat saya bekerja?"

"Yang punya perusahaan ini siapa? Atasan kamu sendiri siapa?"

"Ya bodoamat" Balas gue.

"Minum kopinya atau kamu gajinya saya potong?"

Aduh ini orang, nyebelin banget. Mau aku sentil aja ini pankreasnya. Astaga. Biar cepat selesai, gue langsung minum kopi itu dengan cepat. Setelah habis, gue langsung meletakkan kaleng minuman ini dengan kasar di atas meja.

"Puas?" Tanya gue lancang.

"Dengan sikap kamu yang lancang sama atasan, kamu bisa saya potong gajinya" Balasnya terdengar galak. Semena-mena aja ini orang. Gak pake mikir. Iya, tau. Sekarang dia atasan gue dan mantan gue.

"Baik, Pak Sehun. Saya tidak akan mengulanginya lagi" Kata gue.

"Bagus" Ujarnya sambil menepuk kepala gue pelan. Kak—maksud gue, Pak. Pak Sehun meninggalkan ruangan ini. Gue gantian buang sampah.

Udah gue bilang, dengan adanya orang seperti Sehun Halim Perdanakusuma ini bukannya menguntungkan malah merugikan. Buktinya gue. Selama dia ada dalam kehidupan gue, yang gue rasain ya cuman menyesal setelahnya.

Gue menyesal kerja di sini. Dia datang bikin tenaga dan waktu gue terbuang banyak seperti malam ini. Tapi, mencari pekerjaan baru sekarang cukup sulit sih. Mau gimana lagi? Meratapi nasib aja.

Memang, kadang takdir selucu ini, ya.

Kak SehunWhere stories live. Discover now