Mengakhiri Perang Dingin

18.3K 2.5K 379
                                    

"Lawan terbesar dari manusia bukanlah apa yang ada di depannya atau pun apa yang ada di sekitarnya melainkan apa yang ada dalam dirinya. Jadi perlawanan terbaik bukanlah soal tangan, tapi lebih kepada penerimaan."

-Ara-

***

Surat-surat Kak Wira terus berdatangan, tapi juga setara dengan kasus tawuran yang terjadi di sekolah dan dia tak pernah absen mengikutinya. Itulah alasan aku masih enggan bertemu dengannya. Selain karena ketakutan yang belum juga bisa aku kontrol, aku pun kurang paham dengan tindakan tawuran. Aku tak mengerti mengapa tawuran harus dilakukan padahal hal ini telah banyak merugikan sekolah. Banyak perlombaan olahraga yang mem-blacklist sekolahku. Tapi tetap saja tak membuat jera.

Sekarang aku jadi paham kenapa sekolahku lebih memilih menghabiskan jam pertama di hari Jumat bukan untuk senam SKJ seperti sekolah lain melainkan dengan membaca kitab suci. Murid-murid di sini sudah terlalu sehat jasmaninya, tapi tidak dibarengi rohaninya. Jadilah pembacaan ayat-ayat suci diharapkan bisa memberikan pencerahan walaupun belum terlihat juga manfaatnya.

Buktinya pada perlombaan basket yang paling bergengsi setelah masa blacklist selama tiga tahun, di babak pertama berakhir ricuh hasilnya tim sekolahku diberi hukuman diskualifikasi dan waktu blacklist yang lebih lama dari sebelumnya. Itu juga berlaku pula pada perlombaan di bidang lain. Seakan yang mereka pedulikan bukan kalah atau menang, tapi hanya keributan dan kericuhan. Itulah alasanku enggan menonton satu pertandingan pun. Jangankan jadi supporter, berlama-lama di sekolah saja kadang kurang aman. Seperti beberapa hari lalu ada penyerangan dari sekolah lain, untung aku sudah pulang kalau tidak entahlah bagaimana nasibku. Aku jadi kembali lagi ke satu titik di mana aku merasa ditempatkan di sekolah yang salah.

Siang ini di hari Rabu, jadwal presentasi tugas sosiologi. Tapi anehnya Bu Rita belum datang juga padahal beliau adalah guru terajin yang tidak pernah datang terlambat. Jadilah seisi kelas menggunakan waktu ini untuk latihan presentasi termasuk aku, Randu, Arsya, dan Dwina. Aku telah menyelesaikan giliranku dan Dwina mengambil alih, tapi tiba-tiba pintu kelas digedok kuat membuat semua anak jadi menghentikan aktivitasnya. Pintu terbuka paksa, sesosok kakak kelas menampakkan dirinya.

"Ayo semuanya keluar! Tunjukin rasa solidaritas kalian, ada teman-teman kita yang dihukum guru dengan nggak adil padahal ngebelain sekolah kita," ucapnya dengan nada cukup keras dan menggema di seantero kelas. Setelah selesai dengan orasinya, kakak kelas itu pindah ke kelas sebelah sedangkan anak-anak kelasku hanya bengong dan tidak tahu harus berbuat apa.

Hanya enam anak yang bangun dari tempatnya duduk. Rani, salah satu dari mereka, berkata dengan cukup lantang, "ayo keluar! Sekolah udah sewenang-wenang ini. Kalau kita diem aja, kita bisa diinjek-injek juga." Semua anak hanya saling pandang dan keenam anak tadi langsung ngibrit keluar.

"Ini ada apa sih sebenernya? Aku yang lemot atau mereka yang nggak ngedongin," ucap Arsya yang kebingungan. Aku dan Dwina hanya bisa menimpali dengan gelengan kepala karena kami pun juga kurang paham. Sedangkan Randu sibuk mengecek ponselnya.

"Ada beberapa kakak kelas yang di-skors gara-gara tawuran jadi mereka ngajakin demo biar bisa ngebatalin keputusan sekolah itu," sahutnya masih asyik membaca pesan di ponselnya.

Aku sebenarnya ingin menanyakan lanjut tentang kakak-kakak kelas yang kena skors, tapi dua guru tiba-tiba masuk ke kelas kami.

"Tetap di kelas, jangan ada yang keluar," kata Pak Rahmat, guru BK, sambil mengecek keadaan kelasku.

Stairways to HappinessWhere stories live. Discover now