Lima puluh lima

Magsimula sa umpisa
                                        

Aku menoleh ke pintu saat melihat Aktar masuk ke dalam sambil berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

"Siapa?" tanyaku ketika dia sudah selesai teleponan.

"Mama," jawabnya seraya menarik satu kursi untuk duduk di samping ranjangku. "Tadi aku baru ngabarin sekalian minta izin cuti untuk beberapa hari."

Aku mengangguk dan menatap kukuku yang mulai panjang. Aku paling tidak suka memelihara kuku panjang-panjang. Jadi aku memilih untuk menggigitinya satu per satu karena tidak membawa gunting kuku.

"Itu jorok Bii!" tegur Aktar dengan menarik tanganku.

"Aku risih kalau panjang gini kukunya. Perasaan baru seminggu lalu potong kuku, eh udah panjang aja." aku melanjutkan lagi untuk menggigitnya namun Aktar langsung menahan tanganku.

"Tunggu aku carikan gunting kukunya. Jangan digigit lagi, jorok banget!" Dia berjalan ke arah pintu.

"Mau cari di mana? Kalau dalam lima menit kau nggak datang, jangan kaget ya lihat kukuku udah bersih dan kinclong nanti."

Aktar memberiku tatapan tajam sebelum dia menutup pintu dari luar. Dan tak sampai lima menit, ternyata dia sudah balik dengan membawa gunting kuku.

"Kau dapat dari mana?" tanyaku penasaran.

Dia kembali duduk di kursi dan menarik jari tanganku untuk menggunting kuku yang panjang. "Dari suster yang jaga di depan."

"Aku aja yang potong."

"Jangan banyak gerak. Tanganmu sedang diinfus," ingatnya padaku.

Aku terpaksa menurut dan memperhatikan Aktar yang tampak berhati-hati menggunting kukuku.

"Aktar...." panggilku pelan

Dia mendongak. "Ya?"

"Ceritakan cerita lucu untukku."

"Hah?"

"Aku ingin mengalihkan pikiranku saat ini."

"Apa yang kau pikirkan?"

"Aku takut dengan ucapan dokter tadi. Aku udah berusaha untuk nggak mikirin, tapi tetap aja kepikiran."

"Semuanya akan baik-baik saja. Jangan pikirkan yang aneh-aneh," balasnya sambil lanjut memotong kuku.

"Tapi bagaimana kalau yang dikatakan dokter itu terjadi? Jika nanti disuruh memilih antara aku dan anak ini, siapa yang akan kau selamatkan lebih dulu?"

"Aku tidak akan menjawab," ujarnya tanpa menatapku.

"Aku ingin mendengar jawabanmu."

"Tidak usah. Jawabanku hanya akan membuatmu marah nanti."

Sepertinya aku tahu jawaban Aktar.
Walaupun dia tidak mengatakan pilihannya, tapi aku sangat yakin dia pasti memilih bayi kami untuk diselamatkan. Seharusnya aku senang kan? Tapi entah kenapa aku malah sedih menerima kenyataan bahwa aku tidak cukup penting baginya.

"Apa kuku di kakimu juga mau dipotong?" tanyanya begitu selesai menggunting kuku bagian tanganku.

"Nggak perlu," tolakku cepat dan mencoba berpura-pura tidur.

Saat sudah terpejam, aku merasakan bagian tanganku yang diinfus digenggam oleh Aktar. Aku mencoba untuk menariknya, tapi dia tetap menahannya dengan erat. Aku menyerah dan membiarkan Aktar menggenggam tanganku.

"Makasih, Bii

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.


"Makasih, Bii. Meskipun kau selalu meminta untuk berpisah tapi kau tidak pernah melepaskan cincin pernikahan kita."

"Berisik ah! Aku mau bobok!" balasku seraya merubah posisi tidur menjadi menyamping. Sehingga mau tidak mau Aktar harus melepas genggamannya.

Tunggu saja aku keluar dari rumah sakit, bakal aku buang dan hancurkan cincin ini. Biar dia sakit hati!

1-April-2019

Why Not?Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon