《Dua》

86.8K 6.4K 1.1K
                                    

Dengan napas tersengal-sengal aku duduk di dalam bus Damri setelah melarikan diri dari insiden toilet laknat itu. Setelah merasa aman, aku segera mengangkat telepon dari Mama.

"Halo Mak?"

"Yang lamaan lah kau angkat telponnya. Udah kayak nelpon presiden aja pun."

"Aduh Mak'e... syukur lagi masih bisa dijawab. Tadi Bimbi hampir mau mati."

"Bah? Mati cemana (kayak mana) maksudmu? Cak (coba) yang jelas dulu kau ngomong. Jangan ngos-ngosan kek gitu. Kayak dikejar setan kau kutengok (kulihat)."

"Iisst... panjanglah ceritanya Mak'e. Nanti Bimbi ceritakan kalau udah nyampe (sampai) di rumah," Ujarku sembari menatap sekitar luar untuk memastikan dua pria tadi tidak mengejarku lagi.

"Itulah kau kan. Makanya jangan bohong sama orang tua. Kualat kau itu."

"Kualat apanya Mak?" Tanyaku bingung.

"Kau kan bohong sama Mamak. Bilangnya pergi ke Batam untuk nikahan teman, tapi aslinya kau pergi ke rumah cowokmu kan? Aduh Nak'e... kau itu anak gadis. Masa datangi cowok? Malu keluarga kita. Kalo Bapakmu tahu cerita ini, habislah kau digantung di pohon mangga depan rumah kita."

"Kok Mamak bisa tahu aku bohong?" Tanyaku kaget sambil menggigiti jari telunjukku.

"Tahulah! Mamak kan punya spy-spy," Jawab beliau pongah.

"Hah? Siapa mata-mata Mamak?"

"Siapa spy-spy Mamak itu nggak penting. Yang mau Mamak tanya ini lebih penting. Kau harus jawab jujur, karena ini menentukan masa depanmu. Kau masih perawan kan? Belum ditidurin sama cowokmu?"

Aku berdecak mendengar pertanyaan itu. "Mamak ini aneh-aneh ajalah. Mamak nggak percaya samaku? Aku bisa jaga diri. Aku juga tahu batas mana yang boleh dan yang nggak boleh dilakukan orang pacaran."

"Nggak usah ribut muncung (mulut) kau di situ. Tinggal jawab aja. Iya atau tidak."

"Ya masih perawanlah Mak'e. Lagian pun kami udah putus. Jadi Mamak nggak usah takut." Suaraku terdengar melemah saat teringat dengan Niko.

Terdengar suara tawa kencang Mamaku. "HAHAHAAA... Makanya jangan suka bohong. Kualat jadinya. Tapi baguslah itu. Mamak pun nggak setuju kau sama dia. Cocoklah kalian putus."

Suara isakanku kembali terdengar. Bisa-bisanya Mama bahagia di atas kesedihanku. Harusnya di saat seperti ini para Mama di luar sana akan menghibur anak perempuannya dan memberi kata motivasi agar si anak tidak sedih lagi. Tapi berbeda dengan Mamaku ini. Dia malah mengejekku. Beliau memang luar biasa ajaib.

Selain itu, Mamaku ini tipe orang yang tidak mau mengalah dan tidak mau disalahkan. Bahkan Mama sudah mengesahkan pasal di dalam keluarga kami.

Pasal 1 : Mama selalu benar.

Pasal 2 : Anak selalu salah.

Pasal 3 : Apabila Mama melakukan kesalahan, maka balik lagi ke pasal 1.

Contohnya, pernah suatu kali aku tidak sengaja menendang gelas di lantai. Dan Mamak langsung mengomel padaku. "Makanya kalo jalan itu pake mata!!"

Tapi tiba giliran Mama yang tidak sengaja menendang gelas. Beliau juga ngomel, hanya saja omelannya jauh berbeda. "Ini siapa sih yang naruh gelas di sini?!!"

Ujung-ujungnya anak yang selalu salah.

"Udahlah... ngapain pula kau nangisin cowok kayak gitu."

"Mamak bisa ngomong gitu karena bukan Mamak yang cinta sama dia, tapi aku loh Mak."

"Alaahhh. Cinta. Cinta. Kau makanlah itu cinta. Percuma kau sekolah tinggi sampai sarjana Nak. Toh bodoh juganya kau waktu jatuh cinta. Alay kali Mamak lihat. Putus aja pun nangis. Jaman Mamak pacaran dulu nggak kayak kau gini. Putus satu tumbuh seribu. Berserak cowok di luar sana, asal kau tahu ya. Sekali Mamak kedipin mata, cowok-cowok itu udah pada antri ambilin bulan dan bintang untuk Mamak kau ini. Kalau kau nggak percaya. Coba kau tanya Bapakmu itu. Kayak mana dulu dia ngejar-ngejar Mamak."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang