"Penyebab Pre - eklamsia masih belum diketahui secara pasti. Tapi para ahli sepakat bahwa penyakit ini terjadi pada saat proses pembentukan plasenta di awal kehamilan. Ketika plasenta menempel ke dinding rahim, seharusnya terjadi perubahan pembuluh darah rahim dan plasenta, agar rahim Ibu dapat memenuhi kebutuhan darah plasenta dan janin. Tapi kondisi ini yang tidak dipenuhi oleh ibu Arimbi, sehingga kebutuhan darah plasenta dan janinnya jadi berkurang. Penyakit ini juga dapat menyebabkan fungsi ginjal terganggu. Sari makanan yang seharusnya disaring oleh ginjal untuk kebutuhan darah dan janin, tidak dapat disaring secara sempurna oleh ginjal, sehingga sari makanan tersebut terbuang dan akhirnya memenuhi kaki, tangan dan wajah ibu Arimbi. Itulah sebabnya, kaki ibu Arimbi mengalami bengkak yang lebih besar dari biasanya. Wajah dan tangan pun mengalami hal yang sama. Makanya berat janin dalam kandunganya itu hanya 500 gram. Dikarenakan kurangnya asupan makanan bagi si janin pada saat kehamilan," lanjut dokter itu lagi.
"Jadi istri saya harus bagaimana Dok?"
"Istri Anda harus dirawat di rumah sakit sampai kondisinya normal lagi. Tapi kalau ternyata sampai besok belum normal juga, maka kita harus mengakhiri kehamilan."
"Mengakhiri kehamilan? Apa maksud dokter?" tanyaku tak senang.
"Ya kita harus keluarkan bayinya dari perut Ibu."
Aku bangkit berdiri dan menarik tangan Aktar untuk pergi dari rumah sakit itu. "Kita cari dokter kandungan lain aja. Dokternya nggak bagus, masa dia nakut-nakutin kayak pasiennya. Bukannya bikin sembuh, malah bikin ibu hamilnya makin stress!"
Bukannya segera membawaku pergi, Aktar malah memintaku untuk kembali duduk ke kursi. Dan itu benar-benar membuatku kesal. Jadi aku putuskan untuk pulang sendiri, namun Aktar langsung mencegat tanganku.
"Duduk dulu Bii," pintanya lagi seraya menatapku. "Tenangkan dirimu, aku, kamu dan dokter akan cari jalan keluarnya sama-sama. Emosimu tidak akan menyelesaikan masalah ini."
"Dia bilang akan mengeluarkan anak ini!" teriakku padanya. Lalu detik selanjutnya aku sudah menangis. "Usianya bahkan baru masuk tujuh bulan. Dia belum cukup kuat untuk dilahirkan. Aku takut terjadi hal yang buruk dengannya."
"Perlu ibu Arimbi ketahui, pada kasus preeklamsia-eklamsia, bayi memang diusahakan untuk dikeluarkan pada usia kehamilan setua mungkin. Tapi jika kondisi ibu Arimbi semakin buruk, dalam arti gejala eklamsia semakin nyata, mau tidak mau sebagai dokter saya diharuskan mengeluarkan bayi berapa pun usianya. Karena tujuan utama kami adalah menyelamatkan jiwa sang ibu, baru bayinya," ujar dokter Benitha padaku.
"Tapi aku mau bayiku selamat, Dokter!"
"Ya kalau begitu, ibu Arimbi harus mau dirawat di sini sampai kondisi Anda normal. Saya akan bantu supaya kehamilan Anda bertahan sampai mencapai 37 minggu, sehingga bayinya cukup matang untuk lahir ke dunia."
"Bagaimana Bii? Kau mau ya dirawat di rumah sakit? Biar dokternya bisa memantau keadaanmu dan bayi kita," ucap Aktar meyakinkanku.
"Nanti siapa yang jagain aku di sini? Kau kan kerja setiap hari."
"Ada Mamamu dan Mamaku yang akan gantian jagain."
"Aku nggak mau ngerepotin mereka."
"Yaudah nanti aku minta cuti, biar bisa jagain."
Aku langsung mengangguk tanpa protes lagi.
*****
Seusai dipasang infus dan alat medis lainnya, aku langsung dibawa ke ruangan khusus untuk pasien pre eklamsia. Jadi hanya ada satu pasien di ruang perawatan tersebut dan hanya boleh ditungguin oleh satu orang saja.
Lima puluh lima
Start from the beginning
