Part 09

10.1K 592 23
                                    

Steven memejamkan matanya kuat-kuat, lalu membukanya kembali untuk menatap ke arah Aulia yang tengah menuntut jawabannya. Dengan perasaan geram, Steven menarik paksa tangannya begitu saja dari rengkuhan wanita itu. Membuat Aulia tersentak kaget, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja Steven lakukan padanya.

"Steve," tegurnya seolah ingin menuntut jawaban tentang kenapa lelaki itu begitu kasar dengannya, padahal sebelum ini hubungan mereka baik-baik saja, meskipun Steven tidak pernah membalas perasaannya.

"Sudahlah, Aulia. Lebih baik kamu pergi saja dari sini! Aku muak melihat tingkah lakumu yang selalu saja mempersulitku," ujar Steven terdengar lelah lalu berjalan ke arah luar ruangannya, berniat ingin menyusul Kanaya yang mungkin sudah salah paham dengannya.

"Tunggu, Steve! Aku ingin bertanya denganmu." Aulia menarik lengan Steven, membuat empunya menghentikan langkahnya tanpa mau menatap ke arahnya.

"Tingkah lakuku yang mana, yang selalu mempersulitmu, Steve?" tanyanya terdengar serak, yang bisa sangat Steven yakini bila Aulia tengah menangis kembali kali ini.

"Semuanya, Aulia." Steven membalikan tubuhnya, menatap nyalang ke arah wajah Aulia yang memerah oleh air mata.

"Kamu wanita baik, Aulia. Itu lah yang menjadi alasanku, kenapa aku tidak bisa menyakitimu. Tapi sayangnya, kamu tidak pernah mau mengerti bahasaku, kamu selalu berharap dan menungguku. Padahal, tidak sedikitpun di benakku terlintas tentang kamu yang menarik di mataku. Tidak pernah sekalipun," ujar Steven yakin sembari menggelengkan kepalanya begitu lemah, mencoba meyakinkan Aulia dengan kata-katanya.

"Jadi, berhentilah untuk menungguku! Carilah lelaki yang benar-benar mencintai kamu dengan tulus, dan itu tidak mungkin aku." Steven membalikan tubuhnya kembali lalu berjalan menjauh, meninggalkan Aulia dengan air mata yang kian tumpah di pipinya.

"Aku tahu, Steve. Kamu tidak pernah mencintaiku, aku saja yang bodoh karena selalu menunggumu. Sejak kecil, kamu tidak pernah bisa mau merasakannya, kamu pura-pura buta dan tuli akan cinta ini. Tapi apa aku salah, bila aku berusaha untuk setia?" Aulia berujar lelah, yang mungkin tidak akan bisa Steven dengar, karena lelaki itu sudah pergi dengan membawa rantang makanan milik gadis yang tidak diketahui namanya itu.

Di sisi lain, Steven berjalan dengan sesekali berlari untuk menyusul langkah Kanaya. Sedangkan di tangannya, ada rantang gadis itu yang sengaja Steve bawa agar Kanaya percaya, bila dirinya selalu menghargai usahanya.

Di lobi kantornya, mata tajamnya menjelajah ke segala arah, mencari sosok Kanaya di antara para pegawainya yang tengah beristirahat atau baru mau makan siang. Membuat Steven menggeram marah, sangking banyaknya orang-orang berlalu lalang menghalangi penglihatannya.

"Kanaya, di mana sih anak itu?" gumamnya sembari kembali berlari, mencoba untuk mencari Kanaya di antara puluhan pegawainya. Sampai saat tatapannya jatuh pada sosok gadis, memakai celana dan kaos t-shirt panjang itu tengah berjalan ke arah luar pintu, membuat Steven buru-buru menghampirinya, meskipun bibirnya justru dibuat bungkam hanya untuk memanggilnya.

Tanpa disadari Kanaya, Steven tersenyum tipis dan berjalan pelan tepat di belakangnya. Steven juga bisa mendengar isakan tangis gadis itu, membuat hatinya turut merasa sesak entah karena apa. Rasanya Steven juga tidak ingin kehilangan tawa Kanaya yang selalu gadis itu tunjukan padanya, dan sekarang untuk pertama kalinya Steven membuat gadis baik itu menangis, membuatnya sangat menyesal walau ada sedikit rasa bahagia karena Kanaya menangisinya, membuat Steven merasa spesial di mata gadis itu.

"Om Steven jahat," gerutunya sebal sembari berjalan di sisi jalan, yang kebetulan sejuk dan mendung tidak terik oleh cahaya matahari. Membuatnya tak akan menyadari kehadiran Steven di belakangnya, melalui bayangan lelaki itu. Sedangkan Steven justru menyerngit heran di belakangnya, merasa tak habis pikir dengan gadis itu yang justru mengatakan bila dirinya jahat. Padahal Kanaya belum mengetahui kejadian yang sebenarnya, tapi justru menggerutu seolah paling disakiti.

Om, nikah yuk! (TAMAT)Where stories live. Discover now