prollog

24.1K 685 6
                                    

Sore itu begitu dingin bersama dengan angin yang berembus kuat menerpa wajah putihnya. Matanya sesekali menyipit, menghindari debu yang bertebaran di hadapannya. Rambutnya yang terurai bergoyang, oleh terpaan udara yang menabraknya.

Hanya satu keyakinan yang gadis itu percaya, bila seseorang yang ingin ditemuinya itu benar-benar akan keluar dari pintu kantor, tempatnya berdiri saat ini. Bersama dengan satu buku majalah yang direngkuhnya, gadis itu berusaha yakin bila harapannya itu akan terwujud hari ini.

Kanaya Anastasya, nama lengkapnya. Seorang gadis belia yang baru berumur dua puluh tahun. Hidupnya tak bisa dikatakan beruntung, karena gadis itu hanya seorang pekerja paru waktu saat malam hari di sebuah toko perbelanjaan, sedangkan pagi sampai siang harinya ia gunakan untuk membantu Ibu panti asuhan mengasuh adik-adiknya.

Ya, Kanaya memanglah gadis panti, yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya di sana. Di tempat kecil, yang sudah membesarkan sejak usianya masih umur dua belas tahun. Namun bukan berarti Kanaya merasa tidak beruntung tinggal di sana bersama dengan ratusan adiknya, Kanaya bahkan sangat merasa paling beruntung di dunia ini karena sesuatu hal. Itu lah kenapa, Kanaya memutuskan untuk bertahan di panti, meski sudah banyak keluarga yang menginginkannya menjadi putri mereka.

Sejak kecil, Kanaya memang sudah cantik dan cerdas, jadi tak mengherankan bila banyak orang tua yang menginginkannya. Namun Kanaya menolak dengan alasan ingin membantu Ibu panti mengurus semua adik-adiknya, yang memang semakin banyak di setiap tahunnya.

Sampai saat Kanaya berada di titik sekarang, gadis itu memang memutuskan untuk bekerja setelah lulus SMA. Dan sudah dua tahun lamanya Kanaya bekerja, namun sepertinya keberuntungannya baru tadi malam, saat ada seorang pengunjung yang melupakan majalahnya.

Sebuah majalah yang mungkin tidak akan berarti bagi siapapun, namun mampu membuat Kanaya menangis setelah mengetahui isinya. Ya, Kanaya justru diperlihatkan oleh sosok lelaki berumur tiga puluh tiga tahun, yang menjadi trending di majalah tersebut karena kesuksesan bisnisnya.

Sejak menemukan majalah itu, Kanaya tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat syukur, karena dengan majalah itu, Kanaya bisa tahu alamat lelaki itu, meskipun hanya alamat kantornya. Tapi tak membuat semangat Kanaya luntur, Kanaya terus menunggu di depan sana, berharap lelaki yang ingin ditemuinya sejak lama itu datang dan menyapanya.

Rasanya sudah sangat tak sabar, Kanaya ingin bertemu dengan penolongnya itu. Sesuatu hal yang benar-benar menggebu di hatinya, setiap kali otaknya membayangkan pertemuannya nanti dengan lelaki itu. Mungkin akan menyenangkan, bila harapan Kanaya bisa terwujud, saat lelaki itu mau menjadikannya seorang istri dan Kanaya akan sangat berusaha membahagiakannya dengan segala caranya.

Itu semua demi balas budinya, balas Budi yang mungkin tidak bisa terbalaskan dengan cara apapun. Tapi di tempatnya berdiri saat ini, Kanaya berjanji akan sangat berusaha melakukannya dengan cara apapun itu.

Tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul lima sore, itu berarti Kanaya sudah menunggu hampir dua jam setelah jam tiga Kanaya baru sampai di sana. Membuat Kanaya semakin gelisah, merasa gugup dan khawatir di waktu yang sama. Tentang bagaimana pertemuannya nanti dengan lelaki yang masih sangat jelas Kanaya ingat namanya, Steven Wiratmaja. Seorang pembisnis sukses, yang umurnya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi.

Di tempatnya, Kanaya kembali khawatir namun sebisanya ia tak memperlihatkan hal itu. Terlebih karena jam hampir menunjukan waktu kepulangan Steven, bila dilihat dari ucapan satpam kantor yang tadi sempat Kanaya tanyai.

"Aduh, Om Steven nanti ingat aku enggak ya? Kok aku jadi deg-degan begini." Kanaya mengembungkan pipinya sembari menghembuskan nafas gusarnya, berharap hatinya bisa tenang sekarang. Sampai saat pintu kantor itu terbuka, menampilkan beberapa orang yang keluar berlalu lalang di sana. Namun di antara orang-orang tersebut, tidak ada lelaki yang Kanaya cari. Meski matanya sudah meneliti begitu jelih, memilah setiap wajah-wajah lelaki yang memang tidak ada Steven di antara mereka.

"Kok Om Steven enggak ada? Apa aku salah alamat ya?" gumam Kanaya keheranan sembari kembali memeriksa alamat kantor Steven yang tertera di majalah tersebut.

"Ini sudah benar kok," ujar Kanaya merasa sudah sangat yakin, bila ia sedang tidak salah alamat kali ini. Dengan semangat baru, Kanaya berusaha berpositif thinking kembali, sembari berdoa bila hari ini ia bisa bertemu dengan Steven lagi.

Tak berapa lama, doa Kanaya benar-benar terkabul, karena lelaki yang Kanaya cari sudah keluar dari pintu kantor. Lelaki itu begitu kharistik, meskipun umurnya sudah tidak muda lagi, membuat Kanaya yang melihatnya langsung tersenyum senang, merasa lega karena penolongnya itu benar-benar ada di hadapannya, meskipun mata tajam lelaki itu tidak melihatnya.

"Om," teriak Kanaya sembari melambaikan tangannya, membuat Steven yang mendengar suaranya seketika menoleh ke arah Kanaya dengan sorot mata bertanya-tanya. Namun tatapan lelaki itu semakin dibuat kebingungan, saat Kanaya justru berlari sembari tersenyum ke arahnya.

"Om Steven kan?" tanyanya sembari tersenyum manis.

"Iya," jawab Steven yang masih ragu dengan siapa gadis yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Hai, Om. Akhirnya Kanaya bisa bertemu sama Om lagi, Kanaya senang banget. Tapi maaf ya, Kanaya enggak bawa oleh-oleh, karena dari panti Kanaya langsung ke sini." Steven hanya menggaruk belakang kepalanya, merasa tidak kenal dengan gadis yang baru saja menyapanya.

"Siapa ya? Apa saya mengenal kamu?" tanyanya ragu, membuat senyum Kanaya seketika luntur di saat itu juga. Merasa tak percaya, bila penolongnya itu justru melupakannya. Padahal baru tujuh tahun mereka tidak bertemu, tapi Kanaya masih ingat jelas lelaki yang menolongnya dulu, meskipun sekarang umurnya tidak muda seperti dulu lagi. Namun Kanaya tidak pernah bisa melupakannya, dan bahkan Kanaya bertekad untuk bisa masuk di kehidupan lelaki itu dan membahagiakannya dengan cara-caranya.

"Om lupa sama Kanaya?" tanya Kanaya lirih sembari tertunduk kecewa, membuat Steven bingung harus bersikap bagaimana karena memang ia tidak mengingat gadis itu.

"Coba deh kamu bilang sama saya, kapan terakhir kita bertemu dan di mana? Saya memang kurang bisa mengingat wajah seseorang, kalau cuma sekali bertemu." Mendengar itu, Kanaya hanya terdiam sembari memikirkan hal apa yang bisa membuatnya dekat dengan Steven nanti.

"Enggak apa-apa kok, Om. Kita ketemunya juga sudah lama, mangkanya Om jadi lupa sama Kanaya. Tapi Om, Kanaya boleh minta tolong enggak?" ujar Kanaya terdengar memohon.

"Boleh, kamu mau minta tolong apa?"

"Di sini ada pekerjaan yang cocok enggak, Om? Buat Kanaya. Meskipun cuma cleaning service juga nggak apa-apa, Kanaya bakal terima dengan sangat senang hati." Kanaya berujar bersemangat, membuat Steven berpikir kali ini.

"Saya kurang tahu, coba deh kamu besok ke sini lagi, bawa ijazah terakhir kamu terus kamu tanya di bagian HRD ya? Saya kurang tahu kalau masalah lowongan pekerjaan." Steven berujar lugas sembari tersenyum hangat, membuat Kanaya tersenyum melihatnya, seolah mampu memberinya semangat baru untuk menaklukkan hati lelaki itu.

"Iya, Om. Besok Kanaya bakal ke sini lagi, terima kasih ya, Om."

"Iya, kalau begitu saya permisi dulu ya?" pamit Steven sembari menunjuk mobilnya yang langsung diangguki semangat oleh Kanaya.

"Iya, Om. Hati-hati ya. I love you." Kanaya berujar kian semangat tanpa menyadari ucapannya sendiri yang mampu membingungkan Steven yang mendengarnya. Meski pada akhirnya lelaki itu hanya diam dan tersenyum kaku lalu masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Kanaya sendiri di halaman sepi.

"Besok aku harus bisa kerja di kantornya Om Steven, terus aku bisa mendekati Om Steven dan aku juga bisa membalas budi kebaikannya Om Steven dulu," tekad Kanaya bersemangat sembari menggenggam udarah, seolah ingin memantapkan hatinya.

Om, nikah yuk! (TAMAT)Where stories live. Discover now