- 25 -

90 18 0
                                    

Kerik jangkrik mengalun merdu bersama desir angin menggerisik dedaunan. Mencipta simfoni malam sebagai musik melankoli dilema batin Gian.

"Abra sangat mencintai lo sampe dia rela mengubur hati demi bisa melihat lo bahagia hidup bersama gue," ungkap Revan sembari mengusut air mata. Mengalir deras tanpa diminta.

"Gimana sama lo?" tanya Gian sembari menatap lekat muka sembab Revan. "Apa bisa bahagia kalo gue memilih melabuh ke hati Abra?"

Revan tertawa sumbang akan kepedulian tulus Gian. "Cinta bisa bikin manusia bertindak gila. Bahkan, rela menderita asal cinta mereka bahagia bersama hati yang pantas memiliki mereka."

"T-tapi..." tukas Gian meragu.

"Lo selama ini salah menilai gue, Gian." Revan meremas punggung tangan Gian. "Sekali pun jadian, kita tetap enggak bakalan bisa saling memuaskan."

Kening Gian berkerut. "Kenapa?"

"Gue botie."

Mata melebar serta napas tersumbat di kerongkongan. "Lo pasti becanda, kan?" tampik Gian sembari mengekeh hambar.

Revan menggeleng. "Gue bahkan sempat membenci lo karena berani merebut Abra dari tangan gue."

Gian mendongak ketika Revan menarik lengan beranjak dari bangku taman. "Ke mana?"

"Bandara." Revan memacu derap kaki mereka. "Semoga masih keburu."

***

"Abra pergi?" simpul Gian merangkum penjelasan Revan akan alasan mereka ke bandara di tengah acara pesta prom sekolah. "Kenapa dia enggak kasih kabar?"

"Kita bisa bahas itu belakangan," tepis Revan sembari menggeram ketika mobil mereka kejebak macet. "Sekarang lebih baik kita pikirin gimana bisa sampe bandara sebelum pesawat Abra take-off."

Gian menggigit kuku jemari sembari mengamati kemacetan mengepung mobil mereka dari segala sisi. Bunyi klakson dan derum knalpot menambah sumpek suasana "Turunin gue di sini," putus Gian memilih menempuh jarak puluhan meter menuju bandara dengan berjalan kaki.

Revan menoleh dengan tatapan menilai. Dengan badan semungil itu, peluang berhasil begitu minim. "Jangan gegabah. Oke? Lo bakalan pingsan duluan sebelum sampe tujuan."

Gian bersiteguh. "Please ... percaya sama gue, Van."

Mengembus napas, Revan mengalah. "Kalo begitu, sampe jumpa di bandara."

Gian mengangguk mantap begitu mobil mereka menepi. Bergegas keluar dan membaur bersama kendaraan mengaral di tengah jalan.

***

Di ruang tunggu bandara, Abra duduk separuh membungkuk di kursi panjang alumunium bersama penumpang lain menunggu jadwal penerbangan mereka yang akan segera berangkat.

Tanpa sadar, Abra mengelus rajutan benang melingkar di pergelangan tangan. Meraba setiap huruf timbul di sana merangkai sebuah nama: G-I-A-N. Menegak badan ketika lengan mungil mengulur setangkup burger dalam genggaman kedua tangan.

Kontan mendongak. Bertemu muka dengan mata bulat gadis berumur enam tahun. Lekas kembali ke pelukan sang mama begitu Abra mengambil burger itu.

Abra tersenyum sembari mengangguk sebagai tanda terimakasih.

Di sudut ruangan, Hendar sibuk membahas pembangunan proyek dengan rekan sejawat melalui sambungan selular.

Yeah, pagi tadi Hendar bertamu ke rumah bersama ibu dan saudari tiri Abra. Mengantar pesan buruk bahwa Abra harus memilih tetap tinggal atau ikut pulang bersama mereka.

"Sudah lama Papa memanjakanmu," singkap Hendar sembari mengedar mata mengamati perabotan ruang tamu. Mencari kenangan semasa kanak yang masih membekas di sana. Usang dan berdebu. "Memberimu kebebasan dan mencukupi semua kebutuhan hidupmu."

Abra mendengus sinis akan bualan itu. "Sejak kapan kau peduli padaku?"

Hendar menatap iba akan anggapan keliru Abra selama ini. "Meski tak berada di sisimu, Papa selalu mengawasimu. Sepanjang waktu."

"Berenti belagak baik padaku!" bentak Abra enggan menelan kebenaran pahit itu. "Aku tidak pernah memiliki AYAH BAJINGAN sepertimu!"

Hendar mengebrak meja sembari melompat berdiri. Membara akan makian Abra. "DASAR HARAM JADAH! JADI, BEGINI CARAMU MEMBALAS JASA PAPAMU!?"

Amira lekas bangkit berdiri. Menahan lengan Hendar siap mendarat ke pipi Abra sembari meremas lembut dada lelaki itu. "Kendalikan emosimu, Sayang. Bertindak kasar malah akan menambah runyam masalah."

Hendar mengatur napas. Memungut kepingan kesabaran yang pecah belah. Mengempas diri ke sofa sembari mengusap muka berang. "Kemasi barangmu dan kita segera berangkat ke London petang ini."

"Nek?" panggil Abra meminta dukungan wanita renta yang selama ini mengasuh dan merawat dengan segenap cinta.

Wanita baya itu tak kuasa menatap mata sarat permohonan Abra. "Dana tabungan yang kau belanjakan setiap bulan bukan merupakan warisan mendiang kakekmu. Melainkan bentuk kepedulian dari papamu," aku sang nenek bersimbah tangis.

"Abra?"

Abra berkedip, memupus kenangan pagi silam. Menyampir ransel ke bahu dan menarik koper menuju terminal keberangkatan begitu interkom operator maskapai penerbangan menginformasikan pesawat mereka siap landas.

"Hayo ... mikirin siapa, nih?" goda Amira sembari mengamati kerumunan penumpang di belakang bahu Abra. "Gebetan?"

Abra merona. Lekas membuang muka, "B-bukan."

"Kenapa malah bengong di situ?" sela Hendar menginterupsi obrolan mereka. "Buruan jalan!"

Amira menggerutu pelan sembari bergegas menyusul mereka. Menengok pelan ke belakang, Abra menatap pintu masuk bandara. Mengharap kehadiran seseorang. Gian ... apa lo bahagia di luar sana?

***

Dada Gian serasa hendak meledak. Napas tersengal dengan peluh membanjir di sekujur badan.

Kenangan indah bersama Abra bejejalan masuk dalam kilasan gambar bergerak cepat. Menghantam kepala dalam gelombang pening dan mual.

Bagaimana bisa Gian begitu buta? Mencari cinta padahal ada di depan mata. Sulit dipercaya!

Kurang teliti memerhatikan sekitar, Gian jatuh terjerambab ke kubangan air hujan dalam retakan lubang di tengah jalan.

Gian bangkit berdiri dengan kaki gemetaran. Darah segar mengalir dari luka gores di bagian lutut. Menyeka mata dari percikan air kemudian kembali mengejar waktu.

Beruntung Gian rutin bersepeda setiap berangkat dan pulang sekolah sehingga bisa tiba di bandara lebih cepat dari Revan. Mengabaikan kerumunan orang menatap sinis akan penampilan Gian.

Mata Gian memerih kala bingung dan panik mendera. Dalam keramaian pengunjung bandara malam itu, peluang bertemu Abra sesulit menemukan jarum di tumpukan jerami.

Rotasi mata Gian berhenti pada sosok lelaki menggendong ransel besar di punggung. Berdiri dalam posisi badan membelakangi. "Abra!" tangkap Gian sembari mencekal lengan lelaki itu.

Gian melangkah mundur begitu lelaki beransel besar itu menoleh. "Sori, salah orang." Segera berbalik dan kembali membenam dalam kerumunan.

Lelah mencari tanpa hasil, Gian menyambangi meja operator. "Sudah take-off?"

"Baru beberapa menit lalu," tegas operator itu sembari mengangguk. "Silakan tunggu penerbangan berikutnya."

Badan Gian kontan melumpuh. Merosot jatuh bersimpuh beriring raungan pilu. Langit seakan runtuh. Mengubur pemuda mungil itu dalam timbunan sesal masa silam.[]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now