- Prolog -

767 42 7
                                    

Ketukan sepatu menggema di koridor. Berdesakan menanti kehadiran sang idola sekolah: Revandi Anggoro. Kotak cokelat beraneka bentuk dan ukuran tergenggam erat di tangan.

Tak jauh dari kerubungan gadis itu—berdiri bimbang menempel di sudut dinding ujung koridor—seorang pemuda berkacamata mengintip dengan raut gugup. Kotak cokelat berbentuk hati terbungkus kertas kado biru muda berpita ungu, bersarang manis dalam genggaman.

"Kasih enggak, ya?" gumamnya rikuh. Mendesah lesu ketika membandingkan kotak cokelat para gadis yang tentu lebih besar dan menarik. Menciutkan nyali pemuda itu.

Pemuda itu berbalik. Berenti bersikap pengecut! batin Gian, mengingatkan. Kontan memaku kaki. Lantas memutar haluan dan tanpa sengaja menabrak seseorang yang berjalan dari arah berlawanan.

Mengaduh saat pantat mencium lantai dengan keras. Kemudian celingukan mencari kotak cokelat yang terlepas dari genggaman. Mengabaikan cowok berseragam basket berdiri menjulang di hadapannya.

Sebelah alis cowok itu terangkat begitu melihat pemuda itu membeliak seakan melihat sesosok hantu. Merunduk ke bawah mengikuti arah pandangan pemuda yang baru saja menumbuk badannya. Bengong ketika menemukan sekotak cokelat teronggok tak berdaya kegencet sepatu basket.

Menelan ludah saat bahu pemuda itu merosot lesu dengan sorot mata sayu menyaksikan nasib malang menimpa kue cokelatnya. Lantas membungkuk, memunggut cokelat itu yang tak lagi berbentuk. Mengerjap cepat begitu sadar pemuda itu sudah pergi. Menghilang dari pandangan.

Kibaran secarik kartu merah jambu mengusik mata cowok itu. Menggeleng geli begitu melihat ucapan selamat hari valentin tertulis dalam huruf sambung bertinta hitam bertabur penuh emoticon lucu berbaris rapi di sana. Ciri khas seorang remaja tengah dimabuk cinta.

Kening cowok itu berkerut tatkala membaca nama yang tertera di pesan itu. Melirik sekilas ke arah cowok manis tengah sibuk menerima kado dari para gadis. Kewalahan menampung timbunan kotak cokelat hampir tumpah dari tangkupan lengan.

Mengembus napas lega begitu dentang bel berdering membubarkan kerumunan gadis yang berjejalan di koridor. Menggerutu ketika guru BK memaksa mereka kembali ke kelas masing-masing. Dengan berat hati meninggalkan cowok manis itu sendirian di koridor yang berangsur sepi.

"Nih, buat lo."

Cowok manis itu menengadah, menjeda kegiatan menaruh setumpuk cokelat ke dalam loker. Terkesiap mendapati ketua tim basket sekolah menyodorkan sekotak cokelat. Menarik paksa tangannya dan melesakkan cokelat itu di sana. Kemudian berlalu tanpa sepatah kata.

Tanpa sadar, seulas senyum mengembang di sudut bibir kala menatap punggung tegap dengan bahu lebar itu menyusut di kejauhan. Kemudian menghilang begitu berbelok di ujung koridor.

Merunduk mengamati kotak cokelat remuk bak kapal karam dengan pandangan seakan kado itu merupakan hadiah valentin terindah yang pernah ada.[]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now