- 3 -

106 25 6
                                    

Gian mendesis ketika rempah roti menyentuh bagian bibir yang pecah. Mengalihkan perhatian penghuni meja makan. Menjeda aktivitas sarapan mereka.

"Kalo masih sakit, mending izin aja, " saran Bunda dengan raut cemas. "Jangan maksain diri."

"Huh, cemen!" cibir Amar sembari mengacungkan jempol terbalik. "Berantem aja mewek semaleman kaya abis putus sama pacar."

"Udah deh, anak bau kuncur mending bekelan aja sono," usir Gian dengan tampang datar. Sudah kebal menghadapi cemoohan Amar yang kerap membuat darah Gian mendidih, dulu.

"Berangkat dulu, Bun. Yah!" pamit Gian sembari membersihkan mulut belepotan selai dengan tisu. Melirik arloji, lantas segera bersaliman dan beranjak dari dapur. "Udah telat, nih!"

"Beneran enggak mau Ayah anter?"

Gian menggeleng, "Bareng adek aja. Kasihan dia, enggak ada tumpangan!" Melambai riang dengan senyum puas melihat Amar cemberut di kursi karena belum berhasil meluluhkan hati Ayah untuk membelikan sepeda.

***

Gian meluncur bebas di jalanan lengang menyongsong mentari. Hanya beberapa truk bermuatan buah dan sayur hasil panen sesekali melintas, juga gerobak beroda dua tengah mengangkut gelondongan kayu. Bertegur sapa dengan warga sekitar. Berhenti begitu melihat dua sahabat karibnya sudah menunggu di ujung jalanan menanjak.

Merisih saat kedua sahabat menatap dengan pandangan menilai. "Lo tampak normal hari ini," cetus Bimbo—berbadan bongsor—setelah mengamati penampilan Gian dari ujung kaki sampai pucuk kepala.

"Lo ngomong apaan, sih?" tanya Gian begitu bergabung dengan mereka. Melaju beriringan. "Emang kemarin gue kenapa?"

Jujur, Gian juga penasaran akan keterlibatan dirinya dalam insiden perkelahian. Serta paparan fakta mengerikan bahwa pagi ini, ia terbangun penuh lebam dan bilur di sekujur badan dengan posisi sama persis dalam mimpi buruk semalam.

Benarkah sekadar mimpi belaka atau...

Gian menggeleng, menepis pemikiran konyol yang tebersit dalam benak. Mana mungkin ia bertukar...

"Ya elah, ini entong! Diajak ngobrol malah bengong!" maki Tarub. Mengibas tangan di depan mata menerawang Gian, "Awas, kesambet entar!"

Gian menepis tangan Tarub dari depan muka. "Emm ... apa?" Meminta Tarub mengulang percakapan.

"Lo tau Abraham Suhendar?" ulang Tarub.

Mengerut kening, Gian berusaha mengingat. "Enggak."

"Kudet lo, ah!" Bimbo menimpuk dengan gulungan kertas karton tugas kelompok mapel kesenian mereka. "Masa, anak donatur yang mendanai pembangunan gedung sekolah kita. Lo enggak kenal?"

Gian menggaruk pelipis sembari melirik sekitar, "Emang dia satu sekolah bareng kita?"

"Ampun, dah!" gerang Tarub dan Bimbo sembari menepuk jidat bebarengan. "Kemana aja sih lo, Linglung?"

Gian terkekeh. "Yah, gue kan enggak sama kaya lo bedua yang gemar main gosip," dalihnya dengan tampang polos.

Ruang lingkup pergaulan Gian memang sempit. Butuh waktu setahun lebih bagi Gian mengenal semua teman sekelasnya—bukan sekadar nama, tapi latar sosial juga. Apalagi jika harus menghapal seluruh penghuni sekolah? Buang waktu saja. Toh, Gian tak peduli. Hanya Revandi Anggoro kelas XII IPA 1 yang sukses merebut segenap perhatian Gian.

"Kalo beneran enggak kenal, kenapa kemarin dia tolongin lo?" cecar Tarub. Pantang mundur.

"Dia?" gumam Gian enggan mencocokkan fakta dengan kronologis mimpi semalam.

"Abraham Suhendar," sambar Bimbo tak sabar. "Kemarin dia selametin lo dari amukan maut Diman."

Eh?

***

Abra menguap menyimak pembahasan tim basket tengah antusias mendiskusikan strategi brilian mengalahkan lawan dalam kompetisi bulan depan. Sesekali mengedar mata, mencari sesuatu untuk membebaskan diri dari kebosanan.

Tanpa sengaja, ekor mata Abra singgah pada sosok pemuda mungil dengan sumpalan kapas di hidung. Mengobrol penuh semangat dengan cowok jangkung dan tambun. Mengapit di kedua sisi. Menyahut malas menanggapi setiap celotehan pemuda mungil itu.

"Abra," panggil seseorang mengalihkan perhatian Abra. "Mau makan bareng? Gue bawa dua bekal, nih." Revan menggeser satu kotak bekal ke arah Abra.

Abra melengos, "Belom laper." Kembali memaku mata ke pemuda mungil itu yang kini memesan makanan di meja konter.

"Masa? Kemarin aja lahap banget abisin bekal gue kaya gelandangan kelaperan," cibir Revan. Mengusir kecewa yang memelintir hati. Padahal sudah mengurangi jam tidur dengan bangun lebih pagi sekadar menyiapkan bekal khusus untuk Abra. Tapi apa balasannya?

"Kasih Abang aja, Dek!" celetuk Gibran sembari mencomot naget dari kotak bekal Abra. "Ketimbang dibuang. Mubazir."

"Yoi," sahut yang lain kompak. Meniru aksi wakil ketua tim basket. Mengosong-kan kotak bekal Abra dalam sekejap.

"Boleh tambah enggak?" pinta Gibran dengan gerakan alis menyebalkan. "Abang masih laper, nih!" Sembari menepuk perut.

"Beli sendiri!" sembur Revan sembari membuang muka. Muak dengan bayolan Gibran yang kadang menjengkelkan, seperti sekarang.

Abra tak peduli dengan tawa menggelegar teman semeja. Ia hanya ingin memastikan sesuatu yang masih mengganjal pikiran sejak bangun tadi pagi. Membuatnya sulit mengalihkan pandangan dari pemuda mungil yang celingukan mencari meja kosong. Menunjuk girang ke meja pojok belakang dekat tong sampah dan berjalan memimpin menuju meja itu.

Dua meja dari belakang, Abra mendengus berang menemukan Diman bersama rombongan cecenguknya. Saling berbisik merencanakan sesuatu yang pasti bisa menghibur kejenuhan mereka.

Berselisih sekian detik dengan kecepatan maksimal daya tangkap Abra—selamban siput—terlambat mengetahui siasat busuk Diman. Dengan licin dan lihai melancarkan rencana tanpa meninggalkan bekas.

"Ya ampun, mata udah empat begitu masih aja rabun!" bentak Diman bangkit dari kursi. Mata memelotot menatap pemuda mungil jatuh terjerambab ke lantai setelah menumpahkan menu makan siang cowok berandal sekolah itu.

"M-maaf. Akan saya bersihkan," sahut Gian sembari meraup. Memunggut ceceran nasi dan lauk bertebaran di lantai.

"Jilat," geram Diman, memerintah.

Gian mendongak. "Hah?"

Diman berjongkok dan menjambak rambut Gian, "Lo budek, ya. Gue bilang JILAT!" Kemudian mendorong kepala Gian hingga membentur lantai. Membenamkan muka pemuda mungil itu ke genangan kuah sayur nangka.

Dari sudut mata, Gian melihat Tarub mengatupkan rahang sembari menggeleng. Sedang Bimbo membekap mulut dengan mata berkaca-kaca menahan tangis. Apa yang bisa diharapkan dari bantuan kedua sahabatnya? Meski pun mereka bersatu, tidak ada jaminan akan menang melawan Diman.

"Enggak usah belaguk, deh!" Diman bangkit berdiri, "Sampah macem lo emang pantes makan kotoran!" Mengangkat sebelah kaki, lalu menggilas pipi Gian dengan alas sepatu. "JILAT ENGGAK?"

Gian terpejam. Mencegah kuah sayur agar tidak masuk ke mata serta menahan genangan air mata yang mengancam keluar. Tahan, Gian! batinnya, menguatkan.

Namun, berapa lama ia mampu bertahan? Apa salahnya sampai diperlakukan hina seperti ini? Demi tuhan, ia bukan keset yang bisa diinjak-injak seenaknya!

Jemari Gian mengepal. Apapun yang terjadi—Gian bersumpah—ia tidak akan bersujud demi memohon pengampunan Diman![]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now