- 20 -

85 22 1
                                    

Decit alas sepatu bergerak dinamis seirama pantulan bola. Secara mekanis berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Melesat bagai roket melintasi lapangan basket.

Bersimbah peluh, Gibran berusaha menembus formasi pertahanan musuh. Mengambil jalur aman dengan menepi ke sisi lapangan dan menerapkan teknik tembakan sudut. Memang kurang efektif dan berkesan pengecut. Akan tetapi, sangat mustahil berhadapan secara langsung tanpa mengalami cedera parah.

Gibran terus berpacu. Spontan berhenti dan berbalik ke samping. Mengatur posisi badan serta tekanan tenaga pada setiap ujung jemari sebelum melontar bola ke udara.

Waktu seakan melamban ketika bola melambung tinggi membentuk garis lengkung ke arah ring. Membentur papan kayu dan berputar menggelinding di gelang besi ring.

Please, sekali aja. Gibran memejam mata sembari merapal doa dalam hati. Bikin Revan sadar ... kalo gue bisa sehebat Abra!

"Masuk!" putus wasit sembari meniup peluit.

Gibran mengepal tangan lantas mengacung lengan ke udara. Memutar badan dan melihat Revan berjalan mendekat sembari mengembus napas lega. "Lo keren, Ibran." Mengangkat sebelah lengan dan beradu jotos pelan sebagai ucapan selamat.

Meski tahu pujian Revan sekadar formalitas belaka. Hati Gibran tetap bermekaran seperti kuncup bunga di awal musim semi.

"Enggak heran sih, setelah sepuluh kali gagal..."

"Baru cetak skor sekali aja udah girang bukan kepalang..."

Cibiran sinis masih mendengung di barisan bangku penonton. Berangsur senyap begitu mereka sadar tengah menggigit lidah sendiri.

"Tanpa kepala ... seribu ekor pun bakal tetap menggelepar dan pelahan mati mengenaskan," ungkap kapten tim lawan. "Habisi mereka selagi ada kesempatan!"

"Siap, laksanakan!" sambut anggota tim musuh, serempak.

***

Pertandingan quarter ketiga berlangsung sengit. Perbandingan stamina dan tinggi badan mereka tak sepadan dengan keunggulan fisik tim lawan. Berangkat dari agenda rutin menjalani pelatihan berat secara ketat sehingga membentuk ketahanan tubuh luar biasa. Tidak heran, mengingat sekolah mereka sangat terkenal sebagai pencetak atlet profesional berbakat.

Pada pertengahan quarter ketiga, semua anggota tim sudah kehabisan tenaga kecuali Gibran dan Revan. Mereka masih berdiri tegap di tengah lapangan dengan saluran napas stabil. Berbeda kondisi dengan anggota lain: bermandikan keringat serta aliran napas tersengal.

Terpaksa, Gibran memilih formasi bertahan. Akan tetapi, berapa lama mereka mampu menahan serangan lawan?

Jemari Gibran mengepal. Menoleh ketika sorakan antusias mendukung mereka dari atas tribune penonton.

"AYO SEMANGAT! KALIAN PASTI BISA!" pekik seorang pemuda mungil sembari mengibar bendera mini bergambar logo sekolah mereka. Berdiri sendirian di antara penonton bertampang lesu sembari duduk melorot di bangku. Melirik sinis ke arah pemuda itu. Urung berkomentar pedas—kehabisan bahan bakar, barangkali. "JANGAN KASIH AMPUN! HAJAR MEREKA!"

Ya, meski tanpa Abra. Kita pasti menang, batin Gibran sembari mengangguk mantap. Berlainan sisi, Revan mendengus lantas membuang muka begitu menatap pemuda mungil itu.

Gian tertegun akan reaksi bermusuhan Revan. Apa gue ... salah omong?

Tersentak begitu seorang gadis menjerit kegirangan. "KYAA ... ABRA!"

Jeritan itu sukses memicu kehebohan. Seakan berpantat pegas, para gadis meloncat bebarengan dari bangku. "MANA?" teriak mereka kompak seperti sekelompok paduan suara sembari celingukan ke sembarang arah. "DI MANA!?"

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now