- 17 -

85 22 1
                                    

Gian berdiri rikuh di sebelah bangku Abra, pagi itu. "Sori ... berhalangan hadir semalem," sesal Gian sembari mengulur sebuah kotak kado. "Gimana pesta. Rame?"

Semalam, Revan menelepon. Meminta bantuan Gian mengasuh keponakan. Terpaksa, Gian membatalkan rencana pergi ke pesta. Beranggapan bahwa pesta kelahiran Abra akan tetap meriah meski tanpa kehadiran pemuda mungil itu.

Akan tetapi tidak demikian. Berasumsi dari puluhan pesan dan panggilan tak terjawab menjebol notifikasi ketika Gian periksa ponsel sehabis bangun pagi. Lekas menuju kelas Abra begitu tiba di sekolah. Menempuh risiko melanggar batas kasta perbedaan kelas sosial masih mentradisi di sekolah mereka.

Aura mencekam meruap dari gestur dan sorot mata Abra. Menebar sensasi seperti berpijak di jalanan beraspal terpanggang terik matahari tanpa alas kaki. "Makasih," sahut Abra tanpa emosi sembari bangkit berdiri. Merenggut kado itu dari tangan Gian dan beranjak ke sudut ruang kelas sebelah daun pintu.

Napas Gian menderu ketika kado itu menggelincir dari genggaman Abra. Terjun bebas ke dasar sumur pembuangan sampah. Berderap mendekat, Gian segera memungut kotak itu dari dalam tong sampah. "Gue kira lo beda dari mereka, tapi..." Gian menggeleng seakan enggan mengakui sisi buruk Abra. "Gue salah. Kaum borjuis semua sama: arogan dan berhati tembok!"

Abra mendengus geli akan stereotip Gian tanpa berkaca pada perilaku diri. "Gue tunggu lo semalem suntuk, tapi..." Dada Abra bergemuruh, siap meledak. "APA LO PEDULI SAMA PERASAAN GUE, HAH!?"

Gian tersentak mundur. Berdiri limbung seakan ada gempa melanda. Menggeleng pelan dengan sudut bibir gemetar berusaha menepis kecaman Abra akan kasus putar lidah ini. Lekas berbalik sebelum pertahanan runtuh dihempas gelegak amarah Abra.

Abra mengerang atas kehilangan kendali diri sembari mengusap wajah frustrasi. Kemudian segera mengejar dan mencekal lengan Gian tepat di ambang pintu ruang kelas. Hati Abra serasa teriris melihat butiran bening merebak di pelupuk mata Gian ketika pemuda mungil itu menoleh berang.

"Lepasin!" Gian memberontak dalam penjara lengan baja Abra. Membabi buta, memukul apa saja.

Abra menengadah dengan mata terpejam. Meredam sejuta lara mengalir ke penjuru sel pembuluh darah begitu Gian mengisak pelan sembari memukul lemah. Meluruh dalam dada Abra yang mendekap erat. "Sori ... udah bentak lo tadi," bisik Abra sembari merunduk. Menatap sendu wajah sembab Gian.

Gian menggeleng, sadar diri. "Salah gue pergi enggak kasih kabar. Lo berhak marah, kok."

"Kalo begitu ... lo mesti menginap di rumah gue nanti malem," sambar Abra begitu ada lampu hijau dari Gian.

Kontan, Gian mendongak. "Be ... dua?"

"Kepengen banget gue sodomi," sambut Abra berironi. Mendeteksi ketakutan di muka Gian seperti membaca sebuah buku terbentang di mata

"Siapa tau, kan?" kilah Gian sembari memasang muka cemberut. Beringsut resah ketika tangan Abra menekan panggul merapatkan selangkangan mereka. "Kali aja lo khilaf liat bodi gue entar."

Abra mengukir senyum nakal. "Gue sih siap sedia di ranjang kalo nanti lo berubah pikiran," tawar Abra penuh harap sembari memutar jari tengah di antara lembah bukit pantat berlapis celana abu-abu. Mencoba menggali terowongan tersembunyi di sana.

Gian menggeliat seperti cacing kepanasan. "Cabul!" sentil Gian sembari meregang jarak mereka.

Abra menggeram begitu Gian memutus gesekan pedang mereka yang masih bersarung aman dalam celana. Namun, Abra tak bisa memaksa. Enggan kehilangan kesempatan untuk kali kedua. "Pasangin," pinta Abra sembari mengangkat sebelah lengan setinggi dagu Gian.

Gian lantas membongkar kotak kado. Kemudian melilitkan simpul gelang ke tangan Abra dengan canggung.

"Gian?" baca Abra begitu melihat tulisan di gelang bersulam pelangi itu.

Gian mengangguk. "Biar lo enggak salah panggil," balas Gian asal jawab. Kemudian membalik gelang itu ke bawah. Ada nama lain membubuh di sana. "Dan Abra kalo gue pinjem badan lo."

Abra menurut saja. Meski tahu alasan Gian sekadar bualan belaka. Pasalnya, intensitas pertukaran jiwa mereka mulai berjarak. Biasa hanya berselang sehari, namun kini merentang makin lebar bahkan bisa sepekan mereka baru bertukar diri. Abra menyesal, kenapa tidak dari dulu mengambil keuntungan dari fenomena ini. Menikmati setiap lekuk keindahan tubuh Gian tanpa seorang pun mengetahui.

Gian menarik simpul gelang. Mengukur kelonggaran di pergelangan tangan Abra. Mengikat ujung simpul gelang begitu menemukan ukuran pas. "Beres," lapor Gian dengan senyum bangga.

"Keren," puji Abra sembari mengelus pipi Gian. Berusaha menghapus jejak kesedihan di sana.

Gian mengusap pipi ke telapak tangan lebar itu. Meresapi setiap sentuhan hangat jemari Abra.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata mengawasi dari balik pintu tak berkunci.

***

Dalam bilik kedap suara. Revan menumpahkan kepedihan. Merobek kertas pembungkus kado. Menginjak kotak kado sampai melesak di bawah pijakan kaki. Kemudian jatuh terpuruk di tudung kloset duduk. Membekap mulut meredam tangis.

Padahal, Revan sudah mengerahkan segenap daya memisahkan mereka. Bersandiwara meminta Gian mengasuh keponakan sebagai tindak pencegahan agar pemuda mungil itu mengurungkan rencana menghadiri pesta kelahiran Abra.

Semalam, Revan mengira semua berjalan sesuai rencana. Mereka bertengkar. Kemudian saling melupakan. Akan tetapi...

Revan menangkup telinga. Menangkal suara mesra Abra berseliweran dalam tempurung kepala. Lo mesti menginap di rumah gue ... kepengen banget gue sodomi ... gue sih siap sedia di ranjang kalo nanti lo berubah pikiran...

Puas menguras air mata. Mengumpat ketika sadar kehabisan tisu toilet. Lantas keluar bilik toilet sembari membanting pintu. Tertegun begitu mendapati sebelah lengan menggenggam segulung tisu memalang di depan pintu.

Membuang muka dan berlalu meninggalkan Gibran—entah sejak kapan—berdiri menunggu di luar pintu bilik laksana seorang pengawal setia kerajaan.

Gibran mengedik bahu, lalu memeriksa bilik itu. Menemukan serpihan kertas kado berserak di lantai serta kotak tak lagi berbentuk teronggok di tong sampah sudut kiri kloset duduk. Berkedip begitu membuka kotak itu. Yeah, ada sepasang sepatu basket limited edition bersangkar di sana.[]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now