- 7 -

104 21 2
                                    

Abra mematut diri di depan cermin. Merasa asing dengan bayangan yang memantul di sana. Mata legam menyorot tajam berpayung alis tebal. Rahang kokoh dengan bakal janggut yang mulai membelukar di dagu serta kumis tipis melengkung menawan di atas bibir berbelah tengah.

Aneh memang, tapi benar adanya. Abra mulai tidak mengenali bentuk rupa sendiri, seakan ia tengah berhadapan dengan orang lain. Mengaku diri sebagai Abra.

Abra menggeleng. Memutar keran wastafel dan membasuh muka. Keanehan ini tidak boleh terus dibiarkan. Ia harus segera mencari solusi agar bisa kembali normal. Bebas dari mimpi buruk itu.

Deritan pintu bilik kloset memutar leher Abra. Tertegun memergoki Gian berdiri kaku menatap kejantanan Abra yang menyembul dari balik ritsleting celana panjang abu-abu tanpa berkedip.

Selang beberapa menit, Gian melengos dengan pipi memanas. Kenapa gue? pikir Gian, bingung. Padahal sudah sering Gian melihat badan telanjang Abra—kala mereka bertukar badan—tapi kenapa begitu berbeda kesan saat Abra sendiri kencing di depan mata Gian?

Abra mengedik bahu melihat Gian melenggang pergi tanpa permisi. Kenapa itu bocah? batin Abra, heran.

***

Abra mengamati segerombol anak kecil. Mengamen di tepi jalan depan gerbang sekolah. Gitar kayu usang berselempang di bahu bocah paling besar. Gemerincing alat tabuh berupa logam pipih dari tutup botol, dipaku berentengan pada sebilah batang kayu tergenggam di tangan anak perempuan berbaju kumal penuh tambalan kain.

Jawilan tangan Gibran mengalihkan perhatian Abra dari jendela. Tertegun begitu sadar semua mata mengarah ke bangkunya dengan ekspresi kaget tercetak jelas di wajah mereka.

"Panggil Pak Bara, noh!" tunjuk Gibran. "Buru! Mau dapet hadiah, enggak?"

Abra mendengus. Berjalan malas melintasi barisan bangku penuh coretan tinta serta tetesan tipe-x. Bahkan di beberapa meja ada goresan gambar alat kelamin pria yang digurat sempurna.

Alis Abra mengernyit melihat senyum Pak Bara—terkenal sebagai guru paling galak di seantero sekolah. Malah tampak aneh di wajah sadis guru matematika itu. Kerap menghadiahi siswa dengan ketukan keras pengaris besi ke telapak tangan mereka bila salah menjawab soal.

"Selamat!" ucap Pak Bara sembari menyodorkan selembar kertas jawaban. "Bapak bangga padamu. Meski sempet enggak percaya, tapi ... ya, kamu berhasil mendapat nilai tertinggi di mata pelajaran Bapak."

"Gue?"

Hidung Pak Bara berkedut, pertanda membenci pilihan kata Abra. Beruntung suasana hati sedang baik, jadi tidak dipermasalahkan ketidak-sopanan Abra. "Pak Hendar pasti juga bakal bangga mendengar kabar gembira ini," sambungnya sembari mengangguk.

Abra mengambil kertas yang memampangkan nilai ulangan di pojok kanan atas. Tertera angka sembilan-tiga di tengah lingkaran bertinta merah. Melirik Revan—duduk di barisan depan—mengibarkan kertas hasil ulangan. Berselisih lima poin di bawah Abra.

Biasanya, Revan selalu berada di peringat pertama pada ulangan setiap mata pelajaran. Tapi kenapa sekarang malah Abra yang berhasil menggeser kedudukan Revan sebagai juara kelas? Yeah, meski sekadar ulangan harian.

Bel berdering menutup jam pelajaran Pak Bara. "Pertahankan nilaimu, Einstein." Mengacak rambut Abra, kemudian berlalu. Abra termangu menatap kepergian Pak Bara.

"Ciee ... yang baru dapet pujian dari guru killer," ledek Gibran. Merebut kertas ulangan Abra dan menggeleng, masih belum percaya. "Gue sempet kepikiran buat periksa telinga pas denger Pak Bara sebut nama lo diakhir pembagian hasil ulangan minggu kemarin."

Abra merasa tak pantas mendapat sanjungan dari seluruh teman sekelas atas prestasi yang berhasil dicapainya. Sadar semua ini bukan hasil dari jerih payahnya, melainkan berkat otak cemerlang Gian.

Apa gue mesti berterimakasih ke Gian?

***

Bantingan pintu mengusik tidur siang Abra. Rebahan di atap gedung sekolah berteman semilir angin serta sengatan matahari bersinar terik di langit biru tak berawan. Belum juga lima menit ia memejam mata, Gian sudah berkacak pinggang di atasnya dengan tatapan beringas.

"Balikin nilai ulangan gue!" protes Gian, menuntut. "Nilai jelek lo berdampak buruk bagi masa depan gue!" Melempar kertas hasil ulangan yang dibagikan Pak Bara selepas jam pertama pelajaran hari itu.

Abra meneliti kertas itu sekilas tanpa minat. "Udah terima aja," saran Abra tak ambil pusing. "Lagian, emang segitu batas kemampuan otak gue."

"Enak bener lo!" sahut Gian tak terima. "Peluang beasiswa universitas inceran gue terancam angus gegara kecemar lendir otak siput lo!"

Gian sudah memutuskan akan sekampus dengan Revan begitu lulus. Sisa tiga bulan menjelang UN. Masih adakah kesempatan Gian perbaiki nilai merah di rapor?

Abra menghela napas panjang. "Begini aja: gimana kalo lo bantu gue belajar?" usul Abra, menawarkan solusi. "Dan gue ajarin lo jago main basket di lapangan. Impas, kan?"

Muka Gian merengut sebelum tangis histeris meletus dari mulut pemuda mungil itu. Kini duduk dengan kaki mendepak lantai seperti anak kecil tengah merajuk karena keinginan tidak terpenuhi.

Abra panik. Ia bukan tipe cowok yang pintar melipur lara seperti pengombal ulung, maupun seorang pelawak yang mampu mengundang tawa jenaka. "Oke ... gue tuker kebebalan otak gue sama es krim kesukaan lo," bujuk Abra setengah putus asa.

Mengembus napas lega begitu air mata Gian mulai surut. "Janji?"

Abra mengangguk, pasrah. "Gue tunggu di gerbang, sepulang sekolah." Terkesiap saat Gian merentang lengan memeluk Abra tanpa peringatan. Membuat badan mereka terjungkal dan bertindihan ke lantai semen atap gedung sekolah.

Tanpa mereka sadari, Revan mengamati tingkah mereka dari celah pintu yang sedikit terbuka. Menatap sayu kotak bekal di tangan, lantas mengedik bahu. Berbalik dan kembali menuruni anak tangga mengurungkan rencana mengajak Abra makan siang bersama.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang