- 14 -

86 24 2
                                    

Sudah sepekan berjalan. Akan tetapi, tidak ada gejala perubahan dalam perilaku Abra menanggapi aksi mogok bicara Revan. Baik ketika di ruang kelas maupun di lapangan berlatih basket. Tak sekali pun mereka bertukar cakap.

Padahal Revan mengira Abra akan—setidaknya—mendeteksi keretakan dalam hubungan mereka. Namun hasilnya? Yeah, senjata makan tuan.

Abra tidak berusaha mendobrak. Apalagi berencana memanjat tembok pemisah yang sengaja Revan bangun. Bahkan terkesan biasa saja atas pilihan Revan menjahit mulut dengan seutas benang kebisuan.

Sore itu, kelas mereka mengadakan adu tanding melawan murid sekolah sebelah. Sekadar latihan, bukan kompetensi kejuaraan bola basket tingkat nasioanl.

Revan kewalahan membujuk Renata—wakil ketua OSIS—mengantikan tugas memimpin rapat dewan penggurus OSIS. Dilaksanakan bersamaan dengan pertandingan basket antarsekolah. Akhirnya—meski sempat terlibat debat kusir segala—Renata pun sepakat. Tentu saja dengan sogokan tiga mangkuk bakso daging ukuran jumbo.

Revan segera bergegas menuju lapangan. Mengedar mata begitu tidak menemukan Abra dalam rombongan tim basket mereka. Tumben?

"Mana, Abra?" Revan berjalan mendekati Gibran yang sibuk melakukan gerakan pemanasan sebelum bertanding.

Gibran mendongak. "Emang, dia enggak kasih kabar ke lo?"

Revan membuang muka, cemberut. "Tau, ah." Lalu berbalik. Kembali meniti jalan ke seberang lapangan.

Alis Gibran menekuk begitu melihat Revan menuju ke sisi lapangan bagian musuh mereka. "Van! Mau ke mana?"

"Balik," sahut Revan singkat. Tanpa menengok belakang.

Gibran mendengus akan keputusan egois Revan. "Abra, noh!" pancing Gibran, bersandiwara.

Benar saja, Revan segera memutar badan dan celingukan ke sekitar lapangan. "Mana?"

"Ngumpet di ketek gue," sahut Gibran dengan senyum jahil sembari mengangkat sebelah lengan. Memamerkan selarik bulu tipis menggeriap dalam ceruk ketiak. "Pengin liat?"

Revan menggeram dengan mata berkilat tajam akan kelakar Gibran. Merasa bodoh memakan umpan Gibran tanpa pikir panjang. Tau begini, uang jajan gue enggak bakal melayang buat sumpal mulut bawel Renata.

"Buset, dah. Ngambek tuh anak," geleng Gibran sembari mengejar Revan yang sudah separuh jalan ke sisi seberang. "Please, pinjemin gue kemampuan lo." Gibran memelas begitu berhasil menutup jalan Revan. Menempelkan kedua tapak tangan di depan muka dengan badan sedikit membungkuk.

Revan melipat tangan ke dada. Menggeser kaki ke samping, dan kembali melangkah maju.

"Tanpa lo dan Abra, tim kita bakal mampus dibantai mereka!" sambung Gibran berusaha mematahkan pendirian Revan. "Enggak ada lagi jagoan yang bisa gue andelin selain lo bedua!"

Gibran tahu alasan terselubung Revan bergabung tim basket. Meski tak menampik akan permainan basket pemuda manis itu hampir setara Abra yang notabene terlahir sepaket dengan bakat atletik. Revan menempuh perjuangan berat berbekal tekad baja dan kerja keras agar mampu mengimbangi kemahiran Abra.

Menjadi tumpuan bagi tim dan batu loncatan Abra dalam menggulingkan setiap lawan. Gibran bahkan percaya, kombinasi permainan mereka berdua sudah mampu merobohkan pertahanan musuh tanpa anggota tim mereka turun tangan ke lapangan.

"Ada rapat pembina OSIS yang mesti gue hadiri sekarang," sahut Revan datar. Memupus harapan Gibran.

Gibran mendengus geli akan bualan Revan. "Gue penasaran sama murid yang udah main suap di meja kantin barusan," sindir Gibran, sinis. "Eh, giliran sekarang belagak sok sibuk ada panggilan tugas negara segala."

"Bodo," sungut Revan sembari memacu kaki keluar lapangan. Bergerak lurus melintasi deretan pintu menuju ruang panitia OSIS di sebelah kantor guru.

***

Secara periodik, Abra melirik Gian selama kurun bermain game konsol. Berbaring menelungkup di ranjang sibuk membaca majalah fashion dengan bertopang dagu. Sesekali menepikan anak rambut yang menjuntai sebelah di dahi. Bersarung kaus kaki tebal, sepasang tungkai mungil perlahan mengayun bergantian ke bukit pantat.

Yeah, Abra mangkir dari pertandingan basket sore itu lantaran menemani Gian berbelanja. Menguras kering saldo tabungan Abra dengan memborong puluhan kantung belanjaan berisi pakaian beragam merek ternama yang tengah marak di kalangan anak muda. Sebagai tebusan atas kebocoran mulut akan jati diri Gian tempo hari.

Tadi pagi, Gian mengaku—meski dengan berat hati—setelah Tarub dan Bimbo mencecar tanpa henti. Sempat mengira mereka akan menjauh seakan Gian sudah divonis menderita epidemi berbahaya. Namun tidak, mereka malah berbagi pengakuan aib memalukan yang tersimpan aman dalam peti hati selama ini.

Tarub—dengan kadar kemesuman lebih parah dari Gian—mengaku sebagai kolektor celana dalam gadis belia. Jadi jangan heran kalau ada cawat raib tanpa jejak pada setiap hari mencuci. Sudah bisa dipastikan cowok berperawakan tiang jemuran pelakunya.

Sedang Bimbo—dengan keluguan dan kepolosan seorang bocah—pernah sekali menyeduh pembalut bekas wanita. Salah menafsirkan rumor yang beredar luas di kalangan anak muda akan peribahasa mencicipi darah gadis perawan. Esoknya, bolos sekolah lantaran terserang muntaber.

"Lo yang mana?" Abra berdeham, meminta perhatian Gian barang sebentar. "Gagah menancap atau anggun mengangkang?" sambung Abra segera begitu Gian menoleh.

Gian lekas menyambar bantal dan membenamkan muka ke sana. Enggan menunjukkan pipi semerah kepiting rebus pada tatapan penasaran Abra. Baru kali pertama ini ada cowok mengajukan perihal role sex pada Gian.

Kening Abra berkerut. "Dua?" Berusaha menangkap kode jari Gian.

Gian mengangguk dengan kepala masih terbenam dalam dekapan bantal. Merasa minder akan posisi yang dianggap kurang jantan ketika bertarung di atas ranjang.

"Wajar, sih." Abra kembali memaku mata ke TV LCD berlayar lebar. Memberi ruang bagi Gian memulihkan diri dari gempuran rasa malu. "Pendek begitu. Mana bisa puasin pasangan di ranjang." Memintal harapan dalam selubung sindiran sinis.

"Rajin amat ukur pedang gue pake mistar," desis Gian dengan mata mendelik sadis. Membuang majalah ke muka Abra begitu seringai nakal mengaris di sana. "Bangke lo!"

Abra mengedik bahu. Berguling di kasur, Gian mendekati Abra yang duduk bersandar ke rangka ranjang. Memungut majalah menggeletak di lantai berlapis permadani tebal setelah gagal menunaikan tugas.

"Gimana kalo kita langsung praktek aja biar lo percaya sama gue?" tawar Abra menemukan kesempatan dalam kesempitan ruang gerak mereka. Bahkan Abra bisa menghitung bulu mata lentik milik Gian, kalau perlu.

Jantung Gian bergetar seakan ada arus listrik menggelitik pembuluh darah. Meremang kala gelenyar lembut dan sensasi hangat embusan napas Abra menerpa kulit.

Abra mendecih tanpa sadar begitu sampul majalah fashion menembok muka mereka.

"O-gah," putus Gian mengabaikan tantangan Abra. Kembali berguling ke sisi seberang. Menjauh dari jeratan pesona Abra. Lagian, Revan bakal kecewa kalo terima barang udah enggak segelan.

Perhatian Abra terbelah antara mengamati Gian dan layar TV. Meneguk ludah ketika Gian berubah posisi bertelentang dengan kepala menggelantung di bibir ranjang. Lutut menekuk ke atas sembari paha mengangkang serupa calon ibu tengah melahirkan. Membangkitkan birahi Abra tanpa sadar.

Bagian primitif otak Abra seketika bereaksi mencipta ilusi. Membayangkan diri tengah merangkak di atas tubuh bak porselen itu. Putih mulus bebas dari jamahan bulu badan. Mendaki ke ruas leher tanpa buah jakun. Berujung pada terowongan mungil bibir Gian yang sedikit menguak memberi akses bagi rudal Abra melesak masuk ke dalam sana.

Manik Gian bergulir ketika menangkap suatu gerakan di ekor mata. "Ngapain?" Begitu melihat Abra tengah beranjak ke pintu toilet.

"Benerin celana."

Kening Gian berkerut. Celana?

"Sesak, nih."

Eh? Gian berkedip. Abra kebelet ... kencing?[]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now