- 16 -

84 19 5
                                    

Barisan batang lilin tertata secara strategis di setiap sudut ruangan. Berpendar temaram di ruang tamu. Terapung di permukaan kolam renang bersampan perahu kertas mungil. Menjantung di ruang makan. Membentuk pola hati mengitari meja makan dengan sepasang kursi. Berusaha membangun suasana romantis ala candlelight dinner.

Abra bergumam sembari mengamati dekorasi lilin berakar dari buku paduan 'Menjerat hati pasangan pada kencan pertama' dengan saksama. Memastikan semua tersusun sempurna tanpa melenceng sedikit pun dari arahan buku paduan berkencan itu.

Senyum Abra mengembang begitu menemukan keganjilan di ruangan berpasukan lilin itu. "Benar. Taburan kelopak mawar."

Akan tetapi ketika hendak mengambil sekeranjang kelopak mawar, bel pintu depan berdering. Berkerut kening begitu melirik jarum arloji. Masih jam tujuh kurang seperempat. Rupanya, Gian datang lebih dini dari jam bertamu yang sudah Abra kehendaki.

Mengedik bahu sembari bertolak arah menuju ruang tamu. Abra tidak berencana mengundang badai di hati Gian sebelum sempat mementaskan mahakarya di depan mata pemuda mungil itu. Yeah, perkara menabur kelopak mawar bisa belakangan.

Senyum memudar begitu menemukan Gibran dan anggota tim basket lain sudah menggerombol di depan pintu rumah nenek Abra serupa gelombang tsunami siap meleburkan angan Abra dalam sekali hempas. Cih, ada jelangkung bintitan kesasar!

Yeah, mereka bukan bagian dari agenda acara malam itu. Mengundang Gian datang ke pesta merupakan kedok dari serangkaian siasat Abra untuk menggiring pemuda mungil itu bermain perang ranjang. Lagipula, dari semula memang tidak ada pesta perayaan hari kelahiran Abra. Semua sekadar omong kosong belaka.

"Laper, nih." Gibran menyelonong masuk sembari melempar gantungan kunci berbandul bola basket mini ke tangan Abra. "Sori. Enggak sempet bungkus." Anggota tim basket lain menyusul kemudian.

Tertegun begitu menemukan kelipan cahaya lilin berderet di sepenjuru titik tertentu menyerupai altar pemujaan sekte aliran sesat. "Lo pengen pesta atau santet orang, sih?" sindir Gibran sembari meraba dinding mencari sakelar lampu.

Segera mengempas pantat di sofa begitu lampu gantung antik bersinar benderang. "Enggak ada kudapan?" Gibran menoleh heran. Menatap Abra masih bergeming di depan pintu dengan tangan bersedekap.

"Beli di luar," sahut Abra datar sembari beranjak. Memastikan dekorasi lilin tetap aman dari sentuhan tangan jahil mereka. Berkeliaran menjelajah ke setiap sudut ruangan mencari perbekalan. Menjarah apa saja yang bisa mengisi perut keroncongan mereka.

Gibran mendengus ketika menangkap gestur mengusir Abra. Kemudian bersuit lantang memanggil kawanan cecurut begitu sadar akan kegusaran Abra melihat kedatangan mereka. Lantas mengajak mereka pulang dengan tolehan kepala ke pintu ruang tamu.

"Moga sukses, Bro!" Kepalan tangan Gibran menggantung hampa di udara tanpa balasan tinju dari Abra. Kemudian mengedik bahu, "Sori udah ganggu acara dinner lo."

Abra menggeram sembari membuka pintu lebar, "Ke-lu-ar."

***

Abra kebakaran jenggot. Berjalan tak menentu seperti orang tersesat di rumah sendiri. Pukul tujuh sudah lewat tiga jam lalu dan belum juga ada tanda akan kehadiran Gian. Ke mana ... Gian?

Terpaku menatap ponsel menggeletak di sofa panjang ruang tamu. Membuang gengsi, Abra segera menyambar ponsel. Dengan cekatan memijit serangkaian angka di keypad. Menempelkan ke telinga. Memaki ketika panggilan tak kunjung tersambung. Kemudian membanting ponsel setelah sepuluh panggilan tak terjawab.

Merebah diri di sofa. Kepala menengadah. Kedua lengan membentang di susuran punggung sofa. Mengamati pijaran lampu gantung bergemerincing di atas sana. Mencipta siluet samar seorang bocah duduk sendirian di hadapan istana kue bertingkat dengan menara sebatang lilin berangka umur menancap di puncak. Menatap penuh harap akan keajaiban di hari kelahiran-entah-keberapa.

Abra berkedip. Memupus gambaran suram itu dari pelupuk mata. Mengerang frustrasi sembari memindahkan sebelah lengan menudungi mata dari pancaran sinar masa silam. Bergegas bangkit begitu sadar bisa gila kalau terus melarut dalam lamunan.

Beranjak ke dapur. Membuka lemari di mana tersimpan beraneka label botol wine di rak beralas beledu. Memilih satu botol dan membawa kembali ke ruang tamu. Menggeret satu sofa berlengan serta menggeser meja pendek menghadap pintu ruang tamu.

Melesakkan diri di pangkuan sofa dan menumpangkan kaki ke meja. Menaruh kedua tangan di lengan sembari bersandar nyaman ke punggung sofa. Menunggu kehadiran Gian berteman sebotol wine. Menatap lekat daun pintu serupa agen polisi hendak meringkus buron dalam sekali sergap.

"Pake tali kedengaran bagus," racau Abra—cegukan—begitu pengaruh alkohol meracuni pikiran. "Biar Gian enggak kabur lagi dari tangan gue." Sebelah lengan Abra mengelingsir dari lengan sofa. Botol dalam genggaman menggelinding, bergabung dengan gelimpangan botol kosong berserak di lantai.

***

Abra tersentak begitu bandul jam antik berdentang. Mengibas kepala mengusir pening. Dengan sempoyongan bangkit dari sofa menuju dapur.

Tertegun menemukan lelehan lilin mengumpal beku dalam tabung kaca bening di tengah meja makan. Senasib perasaan Abra terbakar habis dalam gelora api harapan akan kehadiran Gian. Menatap sayu sekuntum mawar berkelopak keriput layu.

Meringis begitu dera lara merobek luka dalam dada. Mencabut sumbat kenangan buruk Abra.

Abra kalap. Lantas meratakan barisan pendar lilin. Beralih menghajar tembok dengan kepalan dan tendangan beruntun. Melampiaskan sesak berduri dalam setiap denyut nadi. "Gian," rintih Abra, memanggil lirih. Dahi berantuk ke dinding. Darah merembes dari sesela jemari. Bertetesan jatuh. Menoda di karpet berbulu ruang tamu.

Yeah, benar. Harapan tercipta dari rasa putus-asa akan kelemahan diri manusia.[]

[B1] SILENCE || BLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang