- 10 -

90 23 0
                                    

Abra mendongak begitu Gian menaruh jaket bertudung dengan kerah panjang cocok dikenakan di musim penghujan yang sepekan ke belakang mengguyur deras. "Kado ultah buat gue?" tanya Gian sembari menarik kursi duduk berhadapan di meja panjang perpustakaan.

Pagi tadi Gian terbangun dalam tubuh Abra setelah merayakan hari kelahiran ke-17 dan menemukan jaket itu menggantung di pintu lemari pakaian Abra. Gian berasumsi berdasarkan beberapa faktor—seperti ukuran jaket yang kekecilan di badan besar Abra—menegaskan spekulasi tersebut.

Abra menguap sembari menggeliat malas di kursi, "Ambil aja kalo mau." Lalu kembali meringkuk nyaman di bantalan lengan.

"Gue enggak bisa terima kado semahal ini, Bram." Gian bimbang begitu melihat label harga yang lupa Abra copot. "Takut enggak sanggup balikin pas lo ultah-entah-kapan."

"Buang aja kalo emang enggak mau," timpal Abra sedikit ketus. "Repot amat."

"Oke, kalo begitu." Gian menggeleng enggan, lantas mengembus napas lega. "Nih, buat lo. Semoga panjang umur dan sehat selalu," doa Gian tulus sembari mengangsurkan jaket itu.

Kontan, Abra menatap bengong. Hah?

"Eh, maksud gue ... nih, buat gue." Lekas mengoreksi begitu sadar pada kesalahan subjek kalimat. "Duh ... kenapa jadi ribet begini, sih?" keluh Gian sembari mengacak rambut, frustrasi.

Abra tersenyum geli melihat tingkah kebingungan Gian. "Makasih Abra ganteng," balas Abra tanpa sadar mencubit gemas pipi Gian.

Hidung Gian mengernyit akan perubahan kelakuan Abra. "Plastik, mana plastik?" pekik Gian panik sembari celingukan seakan terjebak dalam situasi darurat yang butuh pertolongan segera. "Pengen muntah gue, sumpah!"

Sandiwara drama amatir itu berhenti begitu pantat spidol mengetuk meja kerja pustakawati yang bertugas siang itu. "Harap jaga ketenangan! Kalau mau berisik, silakan keluar!" tegur sang pustakawati dengan tatapan menancap dalam ke arah mereka.

Gian meneguk ludah, lalu mengangguk. "Gue bakal balikin kado lo nanti. Meski kudu puasa jajan selama lima bulan ke depan," ucap Gian, berjanji. Kemudian melenggang pergi.

***

Selepas bel pulang berdering, Gian menghampiri meja Revan di barisan depan dekat meja guru. Sibuk menjejalkan peralatan tulis serta buku diktat ke dalam tas gendong. Lalu mendongak begitu sadar seseorang berdiri menempel ke meja bangkunya.

"Butuh bantuan?"

Revan menggeleng sembari mengulas senyum, "Sendiri bisa, kok."

Gian sabar menunggu. "Udah?"

"Beres," sahut Revan sembari mencangklong tas. "Gimana kado? Udah kasih?"

Gian tertegun. Kado?

"Ish, masih muda udah pikun. Temen lo yang ultah kemarin itu, lho!" dengus Revan mengingatkan.

"Oh ... jadi gue yang kalian omongin," gumam Gian tanpa sadar sembari mengangguk paham.

Revan menoleh dengan mata meruncing akan sesuatu yang mengganjal pikiran. "Lo ... kibulin gue, ya?" tuduh Revan tanpa memaparkan bukti autentik.

Gian kontan mengelak. "Ingat, Van. Suuzon menambah dosa, tau!" Bingung menjelaskan secara logika fenomena ajaib yang menimpa mereka tanpa dianggap sakit jiwa.

Bibir Revan mengerucut, sangsi akan kebenaran yang masih berkabut di benak mereka. "Kalo begitu, di mana dia. Temen spesial lo itu?" desak Revan menantang dengan mata berbinar penuh harap akan suatu kejutan tak terduga.

"Gian!"

Spontan, Gian berbalik ke sumber suara dan mendapati Abra berlari mendekat dengan tampang seakan hendak mengabarkan berita buruk.

"Gian?" ulang Revan, menelengkan kepala ke satu sisi. Dahi mengerut ketika berusaha mengingat di mana pernah bertemu dengan sosok pemuda mungil itu. "Oh ... si bocah malang korban bully Diman, toh."

Gian mengangguk tanpa berkomentar. Menatap berang atas kebocoran mulut Abra yang hampir mengundang bencana bagi keamanan identitas asli mereka.

"Sori, salah panggil. Maksud gue, 'Abra'" koreksi Abra tanpa merasa bersalah. Mengabaikan tatapan membunuh Gian. "Ban sepeda gue kemp—"

"Pulang bareng, yuk." Revan menukas tajam sembari menggamit lengan Gian. "Sore ini enggak ada latihan, kan?"

Gian memandang bergantian Abra dan Revan, sejenak. Kemudian mengalah pada rayuan manja Revan yang kini memeluk sebelah lengan Gian. "Kita duluan, ya!" putus Gian dengan sekelumit sesal terselip dalam nada pamit.

Jantung Abra mencelus ketika Gian memutar badan dan mulai berjalan melintasi koridor lengang. Mengobrol akrab dengan Revan. Tanpa alasan jelas, sebongkah bara berkobar dalam dada Abra. Masa gue ... cemburu?

Terlonjak kaget begitu seseorang menepuk keras bahu Abra yang mematung di tempat.

"Hobi banget lo bengong tiap hari," sela Tarub sembari menggeleng heran ketika Abra berbalik menghadap mereka. "Enggak bosen apa?"

"Cerita aja. Barangkali kita bisa bantu," sambung Bimbo yang lebih peka membaca perkara hati seseorang. "Ya kan, Rub?" Menoleh ke arah Tarub meminta dukungan mencungkil sumbat dalam mulut Abra.

"Siapa pacar Gian. Kalian tau?" bidik Abra langsung ke benteng privasi Gian yang berlapis baja.

Tarub dan Bimbo serentak saling melirik sembari mengedik bahu perlahan. "Lo lupa sama pacar sendiri. Kok bisa?"

Abra menepuk jidat sembari mendesah kalah. Jadi, Gian belom sekali pun cerita ke mereka?

"Pantesan, penampilan dan perilaku lo berubah total," simpul Bimbo sok tahu. "Dulu mana berani sapa cewek. Eh, sekarang bukan cuman ngobrol, malahan sampe tuker nomor ponsel segala sama primadona kelas kita!"

Primadona?

"Enggak sangka gue, lo ada main gelap sama Zainab," celetuk Tarub asal tuduh. "Jangan gentayangin gue kalo Diman mutilasi lo entar!"

"Gue enggak makan cewek, kok. Santai aja," cetus Abra tanpa sadar. Entah sebagai pembelaan diri spontan atau dorongan atas orientasi seks Gian yang selama ini terkubur dalam. Menuntut sebuah pengakuan dari lingkungan sekitar yang menentang eksistensinya.

Kontan, Bimbo dan Tarub bengong. Gerigi otak lemot mereka berderak ketika bekerja keras memproses informasi itu sampai terbentuk satu kesimpulan mengemparkan. "Lo ... belok? Sejak kapan?" cecar mereka menuntut penjelasan lebih rinci.

Refleks, Abra membekap mulut meski tahu sudah sangat terlambat. Mampus, bisa disembelih gue sama Gian![]

[B1] SILENCE || BLWhere stories live. Discover now