- 12 -

85 20 0
                                    

"Kalian duluan aja," usul Gian sembari sibuk berkemas begitu dering bel berkumandang. "Gue ada janji sama temen."

Tarub dan Bimbo saling melirik kemudian mengangguk samar begitu prasangka mereka berkoneksi. Bergiliran pamit dan segera bersembunyi di lokasi paling aman untuk menguntit Gian begitu keluar kelas nanti. Selain senyum lebar tersampir manis di bibir sepanjang pagi, mereka juga penasaran akan kebenaran pengakuan pemuda mungil itu tempo hari. Benarkah Gian gay?

Dengan langkah berjarak serta bergerak seperti bayangan, mereka mengekor sepuluh tapak di belakang pemuda mungil itu. Berlari pelan melintasi koridor lengang dengan selingan lompatan riang. Bersenandung merdu begitu menuruni anak tangga dengan ketukan kaki berirama.

Berbelok di ujung koridor menuju lahan parkir kendaraan. Ada mobil guru dan segelintir motor siswa yang masih mendekam di sana. Mencipta ruang kosong berpetak rumpang membentuk jalur simpang-siur laksana labirin bertembok motor beragam merek berbuntut pada mobil yang kadang memutus jalan keluar.

Tanpa kendala, Gian menembus labirin motor itu seakan ada kompas gaib memandu arah sehingga tidak tersesat di tengah lahan parkir yang serupa jebakan jaring laba-laba. Sekali salah melangkah, kau akan terperangkap selamanya. Sekadar analogi, faktanya kau hanya butuh paling lama lima menit untuk mengamati sekitar dan memutar jalan menuju arah yang benar.

Gian segera memacu langkah begitu melirik arloji. Kurang sepuluh menit dari kesepakatan jam temu mereka di halaman belakang gedung sekolah berbatasan dengan kebun pepohonan jati berderet memagari. Jangan sampai menorehkan kesan buruk di awal pertemuan empat mata mereka.

Kening berkerut begitu tidak menemukan seorang pun di sana. Kosong. Lho? Gue enggak mungkin lupa cantumin alamat ... kan?

Bisa jadi dia telat, batin Gian mencoba berpikir positif sembari menggeleng tegas. Toh, baru juga kelewat beberapa menit.

Gian berteduh di dekat sebatang pohon jati berdahan rimbun. Duduk bersila beralas hamparan permadani rumput liar, mengubur petakan tanah gembur di bawah permukaan. Meresah begitu lima-belas menit terbuang percuma. Ke mana sih, Revan?

Lelah berpangku tangan. Gian memutuskan mencari pemuda manis itu.

Setelah sejam lebih menggeledah setiap sudut sekolah. Akhirnya, Gian menemukan Revan di koridor lantai dua. Melongok keluar dari balik tangga di ujung koridor dengan napas terengah seakan baru saja turun-naik tangga dari lantai dasar sampai atap gedung sekolah.

Gian kelabakan begitu Revan berjalan mendekat. Bingung bagaimana harus mengambil sikap.

Lidah kelu, logika membeku. Seakan lumpuh, Gian berdiri bisu ketika Revan berlalu. Tanpa melirik, apalagi sekadar sapa saat bertolak dari titik pertemuan mereka. Seakan tengah melaju pada jalur rel dengan tujuan akhir berbeda.

Napas Gian tercekat. Mata membelalak begitu peluru realitas menembus dada. Bersarang pahit di dalam sana.

Di lain pihak, seulas senyum simpul mengembang di sudut bibir ketika melihat Abra berderap dengan langkah terukur. Tenang. Penuh kendali tanpa gestur keraguan sama sekali. Dengan mantap memangkas bentangan jarak mereka.

Bersipu sembari merunduk begitu Abra membalas senyum. Tipis. Berhenti ketika selisih jarak sepenggal lengan. Revan berdeham mengusir gugup dari sekujur badan. Mengulur sebelah tangan dan...

Apa ini?

Tapak kaki Abra berayun lurus tanpa terusik akan kehadiran Revan. Sorot mata terpaku pada satu titik fokus di belakang bahu pemuda manis itu yang berbalik perlahan. Bertemu muka dengan paras imut Gian berjangka sepuluh langkah ke depan.

Sesaat, mata mereka bertumbukan. Seakan mencoba bertelepati akan apa yang tengah terjadi.

"Sori. Ketiduran," kuap Abra sembari meregang badan di depan Gian. "Enggak ada yang bangunin tadi."

Mata Gian menggulir ke sudut begitu sebelah lengan Abra merangkul leher dan memutar badan pemuda mungil itu tanpa sempat melawan. Memutus kontak mata Revan berdiri kaku di seberang sana. Rahang mengatup dengan jemari mengepal erat di sisi badan.

"Jadi, kita mau nonton film apaan?" sambung Abra sembari mengacak rambut Gian.

Eh? Gian menoleh.

Revan masih di sana, mengawasi mereka dengan tatapan kosong tanpa berkedip sekali pun.

Kok ... jadi begini, sih?

***

"Apa gue bilang," rapal Gibran setiap Revan membagi kisah perjuangan asmaranya. Kerap bermuara pada sungai air mata atas perasaan bertepuk sebelah tangan. "Sampe ayam beranak pun kalo lo diem aja kaya patung pancoran, Abra enggak bakalan jatuh ke pelukan lo."

Ya, mereka berteman cukup akrab dibandingkan dengan anggota tim basket yang lain. Selain fakta melestarikan hubungan tradisi yang sudah dibangun selama beberapa generasi di keluarga mereka.

Seakan tuli, Revan terus melempar bola ke tembok. Membentur keras dan memantul begitu mencium lantai. Lalu Kembali berlabuh di tangan pemuda manis itu. Dan siklus itu pun berulang dengan pola sama. Lempar. Bentur. Pantul.

"Gue bakal minta kompensasi ke bokap lo." Gibran mengancam dengan nada bercanda, "Kalo stok tisu kosan gue lo abisin lagi."

"Bawel lo, ah!" Revan kalap. Membanting bola ke arah wakil ketua tim basket itu. Refleks, Gibran tangkap sebelum membentur muka. Cukup kesulitan menahan putaran bola berdesing pelan dalam genggaman.

"Van?" panggil Gibran begitu napas Revan putus. Mengembus lepas dalam untaian pendek. Meski tahu Keluarga Anggoro bersih dari riwayat medis pengidap asma atau komplikasi saluran pernapasan lainnya. Tetap saja, jantung Gibran gemetar khawatir.

"Sesak, Ibran..." rintih Revan dengan bibir rengkah berusaha memasok udara sembari meremas dada. Jatuh terduduk di bangku tanpa sandaran. Kepala menengadah dengan punggung menempel ke tembok. "Dada gue ... sesak."

Gibran bergeming. Jengkel sekaligus tak berdaya menyaksikan Revan meronta kesakitan di sana. Meski hasrat ingin mendekap dan berbagi lara, namun Gibran tahu, pemuda manis itu sangat benci merasa lemah dan pantang akan rasa iba dan simpati dari seseorang atas kerapuhan diri.

Tanpa sadar, tangan Gibran mengepal. Sialan lo, Bram![]

[B1] SILENCE || BLDonde viven las historias. Descúbrelo ahora