- 22 -

97 23 12
                                    

Gerit ujung pensil mengores kertas coretan seirama ketukan jemari menapak lincah di papan ketik. Berlomba mengejar waktu dalam sirkuit balap berupa puluhan soal pilihan ganda yang harus ditempuh sebelum mencapai garis finis.

Yeah, mereka tengah memeras otak mengerjakan soal UN.

Reaksi tiap siswa berbeda dalam membaca keadaan medan lapangan. Ada yang mengebut seakan setiap rintangan soal hanya berupa kerikil di tengah jalan. Ada pula yang melaju santai seakan tengah menikmati deretan soal di sepanjang jalur lintasan mereka.

Namun sebagian besar dari mereka berjalan tersendat seakan tengah mendaki puncak gunung serta tersesat di tengah belantara soal membingungkan.

Lenguhan napas lega serta erangan penuh sesal bersahutan begitu bel berdering. Kemudian membentuk barisan rapi keluar ruangan bertabuh gerutuan kesal. Mengadili teman mereka yang pelit dalam berbagi contekan. Meski belum tentu soal ujian mereka serupa.

Tak berselang lama, celotehan mereka beralih membahas prom night serta bertukar pendapat dalam memilih pasangan untuk menemani ke pesta dansa sekolah.

"Abra, noh!" Tarub menyikut pelan rusuk Gian sembari menunjuk ke ujung koridor. "Pangeran lo udah samperin, tuh."

"Cabut duluan, ya!" Bimbo lekas mengambil inisiatif, "Takut ganggu pemandangan."

Gian hendak berbalik mengejar. Namun telat, Abra sudah berada tepat di belakang. Menilik dari sorot mata para gadis serentak menyenter area di balik punggung Gian.

"Masih ada lowongan?" Abra berseloroh begitu Gian memutar badan. "Gue pengin melamar, nih."

Gian menggeram. Kesal akan gombalan basi Abra yang tidak mengenal tempat. Yeah, meski mereka bebas memilih pasangan serta tidak ada ketentuan dalam perihal gender.

"Sori. Kursi staf penuh," sahut Gian sembari bersedekap.

Abra terkesiap. Merasa kecolongan. "Siapa?"

Gian menjilat bibir sembari melirik sekitar, "Revan."

Sebelah alis Abra berjingkat. "Revan?" ulang Abra antara kaget dan tidak percaya.

Gian mengangguk lesu. "Yah, meski belom tentu dia bakalan tunjuk gue sebagai pasangan dansa di pesta prom night besok malem."

Meneguk ludah, Abra menelan setiap sajak romantis yang semalam suntuk berusaha dihafal untuk meluluhkan hati Gian. "Revan pasti pilih lo."

Gian mendongak. "Beneran?"

Abra mengangguk mantap. "Gue jamin."

Senyum melebar di bibir Gian. "Makasih, Abra!"

Abra merentang lengan menyambut pelukan Gian. Memejam mata berusaha merekam segenap sensasi sentuhan dan aroma lembut kulit pemuda mungil itu dalam setiap jengkal ruang memori.

Gian makin membenam diri dalam rengkuhan lengan Abra. Lantas menegang begitu ekor mata melihat Gibran berjalan mendekat sembari menggandeng Revan di sebelah kanan.

"Lo bebas sore ini?" tanya Gibran begitu tiba di hadapan mereka. Gian lekas melepas rangkulan lengan dari badan Abra.

"Kenapa?" dengus Abra, melirik sekilas sosok Revan. Kepala merunduk sembari jemari sesekali menarik pelan ujung baju seragam Gibran seakan meminta cowok itu membatalkan rencana terselubung mereka.

"Yah, gue sempet kepikiran." Gibran tersenyum ganjil begitu melihat Gian beringsut mundur dan mengambil posisi aman bersembunyi di balik punggung kokoh Abra. "Kenapa enggak sekalian kita pergi bareng. Lo pengin belanja juga, kan?"

Abra mengedik bahu. Lantas berpaling. "Gimana, Gian. Mau?"

Gian melirik Revan. Menimang sejenak sebelum mengangguk pelan.

"Oke, suara udah bulat." Gibran memberi laporan lantas bersorak penuh semangat. "Ayo, berangkat!"

***

Menjelang petang, mereka sepakat singgah sebentar di timezone setelah puas berbelanja perlengkapan pesta. Sadar keadaan berjalan sesuai harapan, Revan segera membidik begitu ada kesempatan. "Pesta prom besok malam. Lo pergi bareng siapa?"

Abra berhenti mengemut sedotan dan mendongak menatap Revan. Duduk berseberangan di meja bundar kafe. Kemudian mengedik bahu, "Sendiri. Kenapa?"

Revan geragapan menangkal bumerang. Kepalang tanggung, pemuda manis itu enggan berbalik mundur. "Yah, kebetulan. Gue ... juga belom ada pasangan."

"Belom ada atau bingung pilih pasangan?" sindir Abra, mengoreksi kesalahan verba dalam kalimat Revan.

Revan terkekeh, "Lo bener. Kelimpahan peminat cuman bikin pusing kepala."

Abra memajukan badan. "Gue bisa kasih rekomendasi."

"Siapa?" lugas Revan, enggan berharap lebih.

Abra melirik Gian di depan layar mesin virtual. Berdiri pasif sembari mengenggam pistol elektrik bersebelahan dengan Gibran yang lebih aktif bergerak. Tiga kali beruntun menang baku tembak melawan Gibran.

"Lo bakal segera tau," bisik Abra memutar tombol volume ke kiri. Memastikan suara mereka tidak menjangkau jarak pendengaran Gian.

Revan melenguh sembari bersandar ke kursi. "Seinget gue, selera lo payah dalam perkara memilih kemasan produk berbukit dada."

Abra menggeleng, "Tapi beda kali ini. Lo enggak bakalan kecewa."

Revan tercenung melihat kesungguhan di mata legam Abra. "Berani taruhan?"

Ketukan jemari Abra berhenti. Kemudian mengerjap cepat, "Taruhan?"

Revan mengangguk. "Kurang adil ke gue kalo keuntungan cuman ada di tangan lo."

Kening Abra berkerut. "Jadi ... lo pengin bagi hasil sama rata?"

Revan menggeleng. "Gue butuh kompensasi kalo semisal produk lo gagal puasin kebutuhan biologis gue."

Abra mendesah paham. "Yah, gue bakal kasih apapun ke lo."

"Apapun?" ulang Revan, memastikan.

Abra mengangguk mantap. "Sebutin aja."

Seulas senyum terlepas dari penjara bibir Revan. "Oke, gue terima tawaran lo." Lantas berjabat tangan dengan Abra.[]

[B1] SILENCE || BLOnde histórias criam vida. Descubra agora