Bab 22 Rasa Bersalah

322 16 0
                                    

Dinda terbangun dari tidurnya, jam masih menunjukkan angka 10 malam, Di ambil smartphone nya di atas meja rias ibunya. Malang turun hujan hari ini. Meski begitu hawanya serasa gerah. Di nyalakan kipas angin di sampingnya. Di buka layar smartphonenya tidak ada satu pesanpun dia dapatkan dari Hendra. Ada apa dengan Hendra, smoga dia baik baik saja hari ini.

Dinda : Assalamualaikum...

Dinda : Lagi ngapain?

Dinda menatap aplikasi chat dengan Hendra yang sepi. Posisi akunnya sedang offline. Kembali diletakkan smartphone nya di atas meja. Berusaha di pejamkan kembali matanya yang sulit terpejam.

"Susah tidur Din?" Mata Dinda kembali terbuka, di palingkan wajahnya memandang ibunya yang ternyata juga sudah terbangun.

"Ibu, tidak tidur?"

"Dari tadi kamu terlihat resah." Dinda memiringkan tubuhnya menghadap ke Ibunya.

"Kelihatan banget ya Buk."

"Iya, tidurnya gak nyaman banget. Sebagai Ibu selalu merasa saat anaknya merasa resah, sedih. Ibu itu seperti itu. Perasaannya peka jika sudah berurusan dengan anak."

"Bu..."

"Ya?"

"Apakah aku sudah menjadi ibu yang baik untuk Alin?"

"Tentu saja, kamu anak Ibu, didikan Ibu, pasti menjadi Ibu yang baik bagi anakmu."

"Kadang Dinda merasa tidak pernah ada untuk Alin. Dan Dinda tak pernah merasakan kepekaan seorang Ibu." Dinda menyusupkan kepalanya di pundak Ibunya. Dieratkan pelukan pada tubuh rapuh wanita di sampingnya ini, di sandarkan semua resahnya di tubuh kecil itu nyaman. Di sandarkan penuh rindu ingin kembali menjadi kecil lagi. Masalah yang dihadapi tak sekeras dan semenyesakkan ini.

"Ceritakan semua yang menjadikanmu seputus asa begini."

"Buk..." Air mata Dinda bergulir saat mendengar kelembutan suara Ibunya, jari jari keriput itu mengusap kepala Dinda dengan sayang. Dinda makin tergugu.

"Aku menjadi wanita kedua yang tidak di inginkan istrinya bu."

Dinda memejamkan matanya, perih menyusup di relung hatinya, menyesakkan. "Astaghfirullohal'adzim, Dinda.."

"Maafkan Dinda Ibuk, karena membuat Ibu kecewa." Wanita tua itu menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana bisa jadi begitu pada akhirnya?"

"Entahlah, semua berjalan begitu saja, mungkin akrena lelaki itu baik, setia mendengarkan semua keluhan Dinda, memberikan nasehat nasehat yang menenangkan buat Dinda, lama-lama kami saling jatuh cinta."

"Dia juga cinta sama kamu?"

"Kata istrinya sih begitu."

"Istrinya sudah pernah mendatangimu?"

"Kami bertetangga."

"Ya Tuhan.. dan kalian saling menyiksa diri? APakah tetangga lainnya juga tahu?"

"Tidak, kami berusaha menutupi semuanya."

"Istrinya pernah menemuimu kan?"

"Namun tidak sampai ada perdebatan hingga tetangga tahu, tidak ada, istrinya sangat bisa menjaga dirinya. Bahkan kalau di istilahkan, di lebih memilih diam meski melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain."

"Dan kamu membiarkan hatimu di tumbuhi rasa cinta yang mematikan jiwa wanita lain?"

Dinda terdiam, inilah yang selalu dirasakan saat ini. Rasa bersalah. Kalau saja yang di hadapi wanita jahan yang tidak peduli pada suami. Tentu akan mudah. Tapi Maya bukan istri yang seperti itu. Rasa bersalah justru menguasainya kini.

DIANTARA KITA [END]Where stories live. Discover now