Bab 15 Menjadi Milik Saya Pribadi, Tidak Dibagi-bagi

230 15 0
                                    

Dinda terbangun dari lelapnya, jam 2 pagi, di kerjap kerjapkan matanya yang serasa pedas karena cahaya lampu, semalam lupa dimatikan, tangannya berusaha menggapai smartphone diatas nakas. Di buka satu satu chat yag tertinggal. Ada sebuah chat dari seseorang yang tak terduga, Maya. Meski mereka tidak pernah berkirim pesan, namun dia menyimpan nomor Maya, namanya juga tetangga.

Assalaamualaikum, Mbak Dinda, sebelumnya saya meminta maaf atas kelancangan saya mengirim pesan ini untuk Mbak, sebenarnya sudah lama keinginan saya mengirim pesan ini kepada Mbak, karena suami saya melarang, saya selalu mengurungkan niatan saya tersebut.

Mbak Dinda, akhirnya keinginan saya terkabulkan, saya sudah tidak tahan dengan kenyataan kenyataan yang terjadi pada suami saya. Saya juga sudah lama tahu jika ada sesuatu diantara mbak dan suami saya. Namanya insting perempuan Mbak, Bagaimanapun juga mbak kan pernah mengalami. Sampai akhirnya suami saya meminta ijin kepada saya untuk menikahi mbak

Jelas saya tidak dapat menyetujuinya, saya berbeda dengan mbak yang berhati lapang, yang rela suaminya menikah lagi, saya beda mbak, jujur saya tidak sanggup Mbak, karena itu, mohon dengan hormat, jauhi suami saya. Jangan Mbak harapkan lagi. Karena dengan sekuat tenaga saya akan mempertahankan suami saya, menjadi milik saya pribadi, tidak dibagi bagi

Seperti di tampar, wajah Dinda memanas, ada yang bergemuruh di dada Dinda, bolak balik pesan itu di baca, dan bolak balik hatinya bergemuruh. Marah, atau sedih, sakit. Siapa yang memulai, kenapa dirinya yang harus mengakhiri. Sedangkan Hendra sendiri tak pernah mengatakan kita akhiri saja hubungan ini. Bukankah Hendra sendiri yang selalu mengatakan kata kata manis penuh pengharapan. Kenapa dia yang harus melepas dan mengikhlaskan?

Keras, Dinda berpikir apa yang harus dilakukannya, antara menghargai sesama perempuan dengan mengutamakan hatinya yang terlanjur sayang. Bagaimana bisa setelah tertanam harus di cabut kembali, yang ada akan menyisakan rongga yang menganga di hatinya. Apa yang harus dilakukannya?

Di coba di baca lagi pesan itu,

Waalaikumsalam Mbak Maya, sebelumnya saya juga mengucapkan beribu ribu maaf buat mbak, atas apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga Mbak, saya tidak bemaksud melakukan perbuatan seperti itu, tidak. Saya menghormati Mas Hendra, suami mbak, saya menghargai keputusannya menikah lagi, tapi jika Mbak Maya tidak merestui, saya tidak memaksa, karena saya tahu tidak semudah itu membagi hati. Saya tidak berani memutuskan apa yang mbak Maya minta, saya serahkan semua kepada Mas Hendra, suami Mbak. Kalau suami mbak menginginkan saya menjauh, saya akan menjauh.

Dinda mengirimkan dengan penuh kepasrahan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 4.30 pagi. Bergegas Dinda ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu. Suara adzan sayup terdengar, sepertinya suara Hendra. Suaranya memang merdu sekali. Menenangkan, dan Dinda suka. Di longokkan kepalanya ke kamar Alin, anak itu paling susah di bangunkan sholat subuh.

"Alin... Bangun Nak, sholat subuh."

Gadis usia remaja itu menggeliat tubuhnya sebentar, dan lelap kembali. Melihat Alin tarberanjak, Dinda kembali menggoyang tubuh anak gadisnya.

"Aliin...Subuh dulu." Dinda menarik selimut yang menutupi wajah Alin.

"Uhh, masih ngantuk Maa.."

"Subuh, jamaah yuk sama Mama ke masjid. Biar Papa bahagia di surga."

Mendengar papanya disebut, Alin membuka matanya, dan beringsut dari tempat tidurnya. "Mama tunggu di masjid ya, nanti pintunya dikunci."

"Ya Ma."

Bergegas Dinda mengenakan mukenanya dan pergi menuju masjid yang kebetulan tak jauh dari rumahnya. Sebelum pergi ke Masjid, terdengar di telinganya sebuah pesan masuk. Dinda sesaat berhenti, namun melangkah kembali, keburu qomat. Urusan dunia bisa nanti sepulang dari masjid saja.

DIANTARA KITA [END]Where stories live. Discover now