Bab 4 Ayah, Aku Ingin Ngomong Sama Ayah

242 17 0
                                    

Hampir seminggu sejak penemuan chat mesra dengan wanita sebelah rumah, Maya hanya bisa menanti dalam resah, menanti waktu yang tepat menanyakan semua bukti bukti yang jelas jelas mengarah ke perselingkuhan terpampang di layar smartphone Hendra. Setiap kali Hendra pulang dari tempat kerja Maya mencoba mencari celah saat aura ketenangan tergambar di wajah Hendra. Namun Aura itu seakan akan sulit ditemuinya, wajah lelah selalu terpancar di wajah suaminya itu, dan kadang malah langsung terlelap setiap Maya berusaha memulai percakapan.

"Ayah, aku ingin ngomong sama Ayah...." Akhirnya Maya membuka suara disuatu malam. Lagi lagi, bukannya mendapatkan jawaban malah terdengar dengkur halus di sampingnya. Padahal tangan Maya sudah serasa dingin sedang wajahnya dan telinga serasa memanas. Di tarik selimut ke sebagian tubuh suaminya, dan ditinggalkannya melakukan aktivitas malam, mengunci pintu gerbang, pintu rumah, melihat ruang kamar ketiga putrid putrinya, dan terakhir mematikan lampu rumah.

Saat sulit tidur, Maya mencoba peruntungannya lagi, membuka smartphone suaminya selagi dia tidur. Di geser geser layarnya mencari jejak jejak yang tertinggal. Benar saja, percakapan mesra ada lagi jam 09.00 wib. Seakan di guyur air es, tubuhnya menggigil. Puisi puisi cinta bertebaran sekali lagi, si wanita itu bersorak kegirangan menebar emoticon tersipu sipu. Ya Tuhaan...Ini tidak bisa dimaafkan lagi...Ini perselingkuhan, ini bukan lagi percakapan antara teman biasa, ini pertemanan berdasarkan rasa cinta. Mata Maya berkaca kaca, tulisan tulisan itu memudar, dan bergulir satu satu di pipi. Begitu tega suami yang sangat dicintainya itu menduakannya. Janji setia yang pernah diucapkan kini semuanya palsu. Erangnya kuyu, Maya tergugu di samping Hendra, digigit bibirnya hingga terasa asin menahan isak. Tubuhnya berguncang guncang tanpa suara. Hingga larut, sampai akhirnya Maya terlelap kelelahan disamping Hendra yang sedari tadi pulas dalam mimpi.

Terkesiap Maya terbangun, seperti ada yang membangunkannya, dipejamkan matanya sekali lagi, serasa pedih, dan bengkak. Setelah cukup lama, kembali dibuka matanya, dilihat jam di dinding kamar tidur, 01.30 wib, di lihat di samping ranjangnya, tak ditemukan sosok Hendra, sholat malam seperti biasa mungkin. Mata Maya serasa berat, bengkak dan perih karena semalam sebelum tertidur dia menangis tersedu sedu hingga lama, bahkan air matanya masih tercetak di sudut matanya dan bantalnya menjadi lembab dan sedikit basah . Maya beranjak dari ranjangnya, kepalanya serasa pening, tekanan emosional yang terlalu kuat, dan tangisan lamanya semalaman membuatnya terkena dehidrasi, sehingga tubuhnya terasa lemas kelelahan dan pening di kepala. Obat, ya Dirinya perlu obat. Tertatih Maya melangkah ke meja tempat menyimpan kotak obat, di ambilnya obat sakit kepala di laci kotak obat, dengan tiga gelas air putih yang diambilnya di ruang makan, Maya menelan obat sakit kepalanya yang sangat mengganggu ini.

Maya duduk diam di ruang makan dalam kegelapan, menunggu Hendra keluar dari kamar mandi. Sudah diputuskan semalam, hari ini harus dibicarakan, apapun hasilnya nanti, dipikirkan nanti, yang jelas hari ini harus dibicarakan agar tidak curiga terus memenuhi kepalanya. Suaminya keluar dari kamar mandi. Suara kran dinyalakan telah dimatikan, pertanda Hendra telah menyelesaikan ritualnya. Pintu kamar mandi terbuka dan wangi sabun menyeruak memenuhi ruangan, aroma wangi menenangkan sedikit membuat sakit di kepalanya mereda. Maya beranjak dari duduknya mendekati Hendra.

"Aku ingin bicara." Suara Maya yang serak dan sengau menyambut kemunculan Hendra dari kamar mandi. Hendra yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk terhenyak sedikit terkejut.

"Bicara apa?" Jawab Hendra singkat. Dengan ringan Hendra melanjutkan langkahnya menuju ruang ibadah. Maya mengikuti dari belakang.

"Ada apa dengan kalian?" Maya merasakan dadanya begitu sesak, lagi lagi air matanya hendak meleleh keluar. Namun ditahannya kuat kuat.

"Maksudmu apa?' Maya memberengut kesal. Punya suami gak peka itu susahnya ya begini ini. Musti dijelasin.

"Apa hubungan Mas Hendra dengan mbak Dinda?" Hendra menghentikan gerakannya membentangkan sajadah.

"Aku dan Mbak Dinda?" Hendra mengulang pertanyaan Maya, seakan pertanyaan barusan tidak terdengar, atau salah dengar.

"Sudahlah, Mas mengaku saja. Aku sudah baca chatingannya kalian yang.... Yang isinya menjijikkan, aku... aku sudah baca semuanya, aku sakit disini Mas! Sakit!!" Emosi Maya kembali muncul di ubun ubun.

Hendra mendesah berat. "Kamu menyelidikiku?" keluh Hendra sedikit kesal. Sekali lagi Di bentangkan sajadahnya yang sempat terhenti, dan Hendra duduk di atasnya.

"Duduklah." Maya memandangi wajah suaminya dengan perasaan yang berkecamuk. Smoga saja semua tidak benar. Hendra menepuk area di depannya, mengisyaratkan pada Maya untuk duduk. Maya mengambil tempat duduk di depan Hendra. Hendra diam sejenak sebelum memulai bicara. "Aku..." Kepala Hendra menunduk dalam dalam..."Ya? Lanjutkan, jangan dipotong potong begini!" bibir Maya gemetaran.

"Karena kamu sudah membacanya, sudah tau semuanya, hari ini ... Hari ini Aku meminta ijin padamu untuk menikah lagi... menikahi Dinda."

Maya terhenyak, jiwanya seakan dihempaskan ke dalam tempat yang curam dan gelap, tubuhnya bergetar, tanpa disadari tangan Maya mengayun keras ke arah Hendra yang tertunduk diam di hadapannya. Plak!! Tamparan tangan Maya tidak begitu kuat namun rasa Panas terasa di tapak tangannya. Sepanas hati Maya mendengar ungkapan Hendra yang begitu jelas, begitu enteng, seakan akan baru saja dia meminta ijin akan pergi keluar kota berhari hari lamanya.

Hendra mengusap pipinya yang memerah. Entah karena marah membuat wajah Hendra memerah atau karena tamparan Maya sebagai wujud rasa luka yang mendalam. Maya gemetaran sekujur tubuhnya, emosinya sudah meluap, emosi yang ditahan tahan dari tadi. Hatinya benar benar terluka dan berdarah, bagai di iris sembilu dan dituangi cuka, pedih, perih sedih, menyesakkan bercampur menjadi satu. Bukannya meminta maaf karena ketahuan selingkuh, ini malah meminta ijin untuk menikah lagi. Ingatan itu membuat Maya mengayunkan tangannya sekali lagi ke arah Hendra dengan wajah penuh air mata kali ini, namun Tangan Hendra sigap menahan tangan Maya yang terayun ke udara, dan menggenggamnya erat.

"Jahaat! Mas Jahat sama aku, jahat...!!" desisnya menahan tangis yang tersedu sedu. "Kenapa Mas? Kenapa harus seperti ini?? Apa yang kurang padaku, Mas... apa??! Kenapa harus menikah lagi? Tidak! Aku tidak akan kasih ijin, TIDAK AKAN! Sampai kapan pun!" Sedu sedan Maya di ruang ibadah. Hendra hanya diam tak bergerak, masih dengan posisi awal duduk bersila di hadapan Maya yang menangis sambil menutupi wajahnya dengan kedua tapak tangannya. Buliran air mata sebagian merember keluar dari jari jari tangannya. Hampir satu jam lamanya sedu sedan itu berlangsung tak henti henti sampai akhirnya Tiba tiba Maya menjerit histeris dan beberapa detik itu juga tubuhnya ambruk bersujud dihadapan Hendra, semuanya serasa gelap, segelap harapannya terhadap mas

DIANTARA KITA [END]Where stories live. Discover now