Bab 7 Ada Wanita wanita Yang Rela Dimadu, Tapi Wanita Itu Bukan Dirinya

236 18 0
                                    

Kepalanya serasa berat ketika matanya terbuka, aroma minyak kayu putih aromatherapy yang terhirup di hidungnya membuatnya sedikit tenang, sehingga membuat peredaran darahnya lancar, oksigen di otaknya kembali terisi, kesadarannya mulai kembali 100%. Di cobanya kembali mengingat apa yang telah terjadi, Ketika dia menemui Hendra di depan kamar mandi, kemudian pembicaraan di ruang mushola. Bagai potongan potongan film, kembali bermunculan di kepalanya.

Terngiang kata kata suami tercintanya membuat air matanya kembali menetes satu satu. Masih besar harapannya bahwa semua ini hanya mimpi. Sebuah mimpi buruk yang membuatnya tak ingin mengulangi lagi. Kalaupun ini terbangun ternyata semua tak pernah terjadi, semua baik baik saja, tidak ada kata "Ijinkan aku menikahi Dinda."

Dilihat bayangan suaminya sedang duduk di sebelah ranjang tengah sibuk menatap layar smartphone. Sedang sibuk urusan kantor atau chattingan mesra dengan wanita itu? Maya meringis nyeri mengingat apa yang ada dipikirannya kini. Melihatnya bergerak gerak, Hendra mengalihkan pandangannya ke arahnya kini.

"Kamu sudah sadar?" Lelaki dihadapannya ini menyentuh dan menggenggam jemari tangannya. Terlihat wajahnya menyorotkan kekhawatiran..

"Kamu serius mas.. serius mau menikahi mbak Dinda?" suaranya terdengar serak dan sengau....

"Itu kalau kamu mengijinkan May... "

"Aku nggak ijinin, pokoknya nggak akan ijinin Mas menikah lagi. Kecuali.... Kecuali aku mati"

Ditatap mata Hendra yang diam saja mendengar pintanya yang memang memaksa. Maya sadari itu, Maya tau, diluar sana ada wanita wanita yang rela di madu, tapi wanita itu bukan dirinya. Tak sanggup dirinya ketika harus menerima wanita lain dihati suaminya. Berbagi hati, berbagi kasih dengan wanita lain.

"Mama ..." Dilihat Izza terbangun dari kamar sebelah, dan berdiri di depan pintu kamar. "Sini Nak." Kehadiran Izza sedikit menenangkanku. Kudekap tubuh mungilnya erat. "Mimik susu Ma.." Iya, iya."

Anak-anak sudah mulai bangun dan bersiap siap berangkat sekolah, dengan berat ku coba bangkit dari ranjang dan menyiapkan sarapan, kali ini roti bakar dan susu. Sudah tak sanggup lagi membuat menu berat lainnya, badannya serasa lemas, kepalanya berdenyut sakit, kebanyakan menangis membuatnya dehidrasi.

Selama menyiapkan sarapan. dicoba mengendalikan air matanya yang terus ingin jatuh bergulir, suaranya pun terdengar parau dan serak. Meski sedang sangat terluka, dia tak ingin anak anaknya tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi antara ayah ibunya ini. Dia tak ingin semua ini membuat anak anak ikut terluka, dan bersedih, sehingga jelas jelas akan mengganggu belajarnya.

"Mamaa... adek Izza membuang bukuku..." teriak Nabila marah..

"Izza, hayoo buku kakak jangan di buang buang, kan ada ilmu di dalamnya, dosa lhoo.." yang di bilangi hanya terkekeh senang, karena sudah membuat kakak keduanya marah marah dan hampir nangis.

"Nabila, bisa nggak di ambil sendiri bukunya?"

"Nabila masih eek nih Maa."

"Nayya, tolongin ambil bukunya adek, mama masih masak ini."

"Kok jadi Nayya yang di suruh suruh?" Gadis bertubuh hampir setinggi dirinya itu terlihat manyun.

"Kan Mama sudah bilang tolong Nayya..."

"Tapi kan Iz...."

"Nayya, jangan bantah kalau Mama minta tolong." Kulihat Hendra menimpali sambil mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi dalam.

"Tuh, di marahi Ayah kan?" bisikku mengingatkan. Sambil manyun Gadis kecilnya ini tak mengatakan apapun hanya menghentakkan kakinya dan mengambil buku yang terlempar di luar kamar.

Waktu sudah menunjukkan jam 06.30 wib, suara bel mobil jemputan sudah terdengar, Bergegas kumasukkan bekal kedua gadisku ke dalam tas masing – masing. "Berangkat dulu Mama!" Berdua, bergantian gadisku mendekat dan meraih tanganku untuk dicium, dan bergegas keluar rumah. "Sekolahnya yang sungguh sungguh ya Nayya, Nabila!." "Siyaapp"

Blam!! Suara pintu tertutup kembali.

Suasana kembali sunyi, ku lihat Hendra tengah mengeringkan rambutnya di kamar. Ku ambilkan baju kerjanya dari dalam lemari, dan meletakkannya di atas ranjang. Sambil diam Hendra mengenakan baju kerja yang baru saja kusiapkan, dan mengenakan dasinya dengan cekatan. Ku biarkan Izza bermain di ruang bermain sendirian. Ku masuki ruang kamar yang berada di sebelah ruang bermain. Melihat sosok Hendra emosiku kembali naik. Dadaku serasa nyeri.

"Janjilah Mas, berhentilah mengharapkan mbak Dinda bisa Mas Nikahi, aku nggak akan rela." Tangisku yang dari tadi kutahan tahan di hadapan anak anak, kembali tersedu sedu, luka hati yang demikian dalam, menoreh membuatku tak bisa menahan isakku. Bagaimana aku bisa menahan semua ini sendirian? Hendra terlihat hanya terdiam tak mengucapkan sepatah katapun.

"Aku mau berangkat dulu." Hanya itu yang akhirnya tersampaikan setelah berjam jam kami hanya terdiam.

"Mas..!" Kuhentakkan tanganku memukul ranjang.

"Ok, ok, tenangkan dirimu dulu, aku tidak ingin kita bicara dalam keadaan sama sama emosi begini."

"Jangan berharap aku akan mengijinkan, sampai aku mati." Rengutku kesal.

"Astaghfirulloh, Istighfar May, kenapa ngomongin mati?" Kulihat kilatan di matanya, Hendra juga tengah marah, Masih segar di ingatan Maya pagi dini hari tadi telah menampar Hendra, suaminya. apakah karena tamparannya dini hari tadi Hendra menunjukkan ekspresi marah hari ini?

"Astaghfirulloh..." desisku kelu..."Astaghfirulloh.... " Berulang kali kubisikkan istighfar, berharap hatinya kembali tenang. Ku bisikkan berulang kali Istighfar sebagai pengendali emosi yang tiba – tiba naik begini. Ini pekerjaan Setan. Setan mengendalikan fikiran manusia lewat marahnya.

Merasa sedikit tenang, kudekati Hendra yang hanya diam dengan ekspresi menahan marah yang amat sangat dari tadi dengan perasaan mengalah, mungkin dengan mengalah Hendra bisa mengikuti keinginannya, Hendra mau menghentikan rasanya dengan wanita itu. Kukesampingkan semua egoku, ke Akuanku sementara, siapa tahu bisa meluluhkan hati Hendra yang kukenal sangat keras itu. Bukankah Batu bisa hancur oleh tetesan air? Kupasang wajah merasa bersalah atas apa yang telah dilakukannya, termasuk tamparan di wajah Hendra dini hari itu.

"Mas.... Maafkan mama yang... yang sudah menampar Mas tadi... Mama... mama sedang emosi. Dan... jangan menikah lagi.. aku... aku nggak sanggup di madu." Suaraku terdengar menyayat.

Hendra hanya diam menghela nafas berat, sambil mengenakan kaus kaki dan sepatunya.

" Apakah Mas sudah benar benar menginginkannya?" Suaminya ini mengangguk "Ya."

"Sebesar apa?" tanyaku nyeri

"Sangat besar."

"Melebihi inginmu padaku?" Sungguh seperti ditusuk sembilu.

"Jangan kamu bandingkan dengan kamu, itu beda." Sergahnya gusar. Ini melegakanku. Dirinya masih memiliki arti special di hati Hendra. Artinya Hendra tidak menginginkan perceraian antara aku dan dia.

"Apakah tidak bisa Mas hentikan rasa itu?" lagi lagi lelaki yang amat dicintainya ini diam membisu. Kudesahkan nafasku berat. Kepalaku kembali serasa pusing. Ya Alloh, bagaimana aku harus berbuat? Apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku menemui wanita itu dan memintanya menghentikan semua ini? Menemui wanita itu dan mengatakan aku tak ingin dimadu seperti ini?

"Mas..." Sergahku melihat Hendra tetap membisu.

"Ok, Ok...Baiklah, aku tidak akan meminta ijinmu lagi, Tapi....

"Tapi apa Mas?" Aku makin gusar, kenapa musti ada tapinya sih. Mauku kan hal yang sederhana. Dihentikan hubungan terlarang itu. Itu saja. Bukan hal yang sulit kan, tinggal tidak usah meladeni chattingan chattingan mesra yang menumbuhkan benih benih cinta.

"Aku butuh waktu untuk menghentikannya." Ucapan Hendra yang tegas, membungkamku, memaksaku memahami inginnya, padahal aku juga ada keinginan, yang sangat sederhana, dan dia bilang butuh waktu? Itu berarti hubungan mereka sudah sangat dalam, sudah begitu sulit dihentikan. Maya merasakan sekujur tubuhnya dingin, sangat dingin hingga menggigil. Ya Alloh... Bantulah hambaMu ini, yang merasa tak kuasa menghadapi ujianMu kali ini.

"Aku berangkat. Assalaamualaikum..." Blamm...Dan pintu rumah tertutup rapat.

" Wa'alaikumsalam...." Lirih....

DIANTARA KITA [END]Where stories live. Discover now