11. Ketulusan Fero

Mulai dari awal
                                    

"Loh...loh… kok bisa? Piye toh, yasudah saya kesana sekarang."

"Baik pak,"

Ketika Fero melihat Pak Sarbini keluar kelas, ia tersenyum puas. Ia langsung masuk ke kelas Nadia tanpa memperdulikan tatapan dari penghuni kelas. Ia melihat bangku sebelah Nadia yang kosong, tak berpenghuni. Lantas itu mengarahkan dirinya untuk duduk di kursi tersebut, terduduk di sebelahnya.

Nadia menatap bingung, laki-laki yang sekarang duduk di sampingnya. "Ngapain, Fer?"

"Rara mana?"

Mengernyitkan keningnya, Nadia bertanya, "Rara nggak berangkat, kenapa Fer?"

"Dia kenapa nggak berangkat?" Tanya Fero balik.

Nadia tampak berpikir. "Nggak tahu juga. Tapi, gue ngeliat dia nangis tempo hari. Kayaknya dia lagi ada masalah, tapi dia belum cerita ke gue." jelas Nadia.

Fero mengangguk mengerti. "Thanks, Nad. Gue balik dulu." Nadia mengangguk menanggapi.

Fero teramat yakin bahwa yang Nadia maksud tempo hari adalah saat ia bertemu dengan Rara di taman.

💦

Sepulang sekolah bukanlah rumahnya yang ia tuju, melainkan rumah Rara. Untuk kedua kalinya ia menginjakkan kakinya di rumah ini, menatap pintu kayu bercat putih yang pernah ia tatap sebelumnya. Perlahan ia mengetuk pintu itu.

Menampilkan wajah Dahlia, saat pintu telah terbuka. Wajah yang masih teringat jelas di memori Fero. Ia tersenyum dan menyalaminya. Fero tidak bodoh untuk menyadari bahwa Dahlia kali ini menatapnya tajam, tidak seperti dulu yang sangat hangat dan humble.

Dahlia berkacak pinggang menatap Fero. "Ini nih, yang udah bikin anak saya nangis. Ngapain kamu kesini?!"

"Saya mau jelasin, Tante. Kalo Rara cuma salah paham."

Dahlia menghela nafas, "Masuk dulu. Jelasin di dalam."

Fero duduk di sebuah sofa panjang. Di depannya sudah ada Dahlia yang siap menginterogasi dirinya. "Jelasin sama saya. Penyebab Raya nangis, nggak mau sekolah, nggak mau makan, bahkan ngobrol sama ibunya sendiri pun nggak mau."

Fero mulai menjelaskan tentang permasalahan dirinya dengan Rara. Juga tentang sesuatu hal yang belum ia jelaskan padanya, yang membuat jarak di antara mereka.

"Maafin saya, Tan. Saya nggak bermaksud bikin Rara jadi kayak gini."

Dahlia memijat pelipisnya, masalah anak muda memang rumit. "Saya maafin kamu, kalo Raya sudah kasih maaf ke kamu. Saya kasih kamu kesempatan buat menjelaskan semuanya. Biar saya antar kamu ke atas, Raya lagi ada di kamarnya."

Rara mendengus kala pintu kamarnya di ketuk. "Mamah, Raya lagi pengin sendiri!" teriaknya dari dalam.

"Ada temen kamu datang ini,"

"Siapa? Suruh pulang aja mah, raya lagi pengin sendiri!"

Fero berbisik, "jangan bilang kalau saya yang datang, Tan."

Dahlia mengangguk paham, "Ini Nadia yang datang sayang, kasian kan udah jauh-jauh ke sini."

Ketika nama Nadia yang disebut, sempat terpikirkan untuk tidak membuka pintunya, mengingat inti permasalahannya adalah dia. Namun, Nadia tidak tahu apa-apa, dia tidak bersalah. Terlalu egois jika Rara harus membencinya.

Ia bergerak membuka pintunya, dan terlonjak kaget saat ia melihat bukanlah Nadia yang di depannya, melainkan Fero. Menyadarinya ia langsung bergegas menutup pintunya. Namun, ia kalah cepat. Fero sudah lebih dulu masuk mendahului aksi Rara. Fero mengunci kamarnya dan memasukkan kunci pintu pada saku seragamnya.

"Jangan macam-macam sama anak saya kamu Fero!" Teriak Dahlia dari luar. "Siap Tante!" jawabnya.

Rara mencebikan bibirnya, ternyata ibunya sudah bersekongkol dengan Fero.

"Ngapain lo kesini?! Keluar!" usir Rara tajam. Ia mendorong tubuh Fero dengan kedua tangannya. Namun, sia-sia. Melihat Fero yang tidak bergerak sejengkal pun.

"Dengerin dulu sih penjelasan gue!"

"Nggak...nggak gausah dijelasin lagi, gue udah ngerti." Ia masih saja mendorong tubuh Fero.

Fero mengangkat tubuh Rara, sampai kakinya melayang di udara. Rara menggerakkan kakinya brutal, "turunin gue Fero!" bentaknya.

"Nggak! Dengerin dulu penjelasan gue baru gue turunin."

"Nggak mau, jangan paksa gue!"

"Yaudah, kalo nggak mau." Fero mengangkatnya lebih tinggi, sampai kedua wajah mereka sejajar. Ia bisa menatap mata Rara yang membengkak.

"Berapa lama lo nangisin gue, sampai sembab gitu." lirihnya. Ia merasa bersalah.

"Gue nggak nangisin lo!" Rara memalingkan wajahnya.

Fero berjalan membawa tubuh Rara di pegangannya, mendudukkannya di tepi ranjang. Lalu ia duduk di sebelahnya.

"Lo brengsek, Fer!" tajam Rara, Fero mengangguk. "Iya, gue tau."

"Dan Cowok brengsek ini mau bilang kalo dia sayang lo."

"Bullshit! Kebanyakan PHP!"

"Gue serius, gue sayang sama lo. Awalnya gue ngedeketin lo karena gue suka sama Nadia. Tapi, gue sadar kalo itu cuma sebatas obsesi. Gue ingin memiliki Nadia, tapi tanpa sadar gue menyayangi orang lain. Gue nyaman sama lo, sampai gue lupa tujuan awal gue."

Rara menoleh, ia menelisik manik mata Fero. Tidak ada kebohongan disana.

Rara mengubah posisi duduknya menjadi sila menghadap Fero. Fero pun mengikuti posisinya. Cukup lama mereka bertatapan, Fero menangkup kedua pipi Rara dengan kedua tangannya.

"Di maafin nggak?" tanya Fero. Rara menggigit dalam bibir bawahnya.

"Satu lagi, Lo mungkin nggak pernah denger ini dari mulut gue." Ia tersenyum saat mengatakannya.

Fero menarik wajah Rara mendekat, kemudian ia berbisik. "love you."

Rara tersenyum, wajahnya memanas. Fero terkekeh geli melihat Rara blushing.

"Gue anggap lo udah maafin gue." Fero mengusap puncak kepalanya dan tersenyum simpul.

TBC

Apdet lagi, semoga nggak bosen yaa^^

Alhamdulillah baikan wkwk👶
Dobel apdet, ada yang mau?

Daku tunggu komen dari kalian 😘😘🦁

See you on next chapter 💋
Salam cinta dari Ibu Fatma untuk,
Author mityass ❤️💜

Cold Prince✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang