12. Sepiring bersama

Bắt đầu từ đầu
                                    

"Gitu tuh, kalo baru ketemu cewe. Sekalinya tidur sekamar, langsung meriang." seru om Reza, mendapat pelototan dari bunda.

"Baguslah. Dari pada kaya kamu, masih di taman kanak-kanak aja udah ganjen sering godain anak perempuan." bunda membalas om Reza.

"Enak aja, mana ada."

"Emang iya, kamu aja yang pura-pura lupa."

Aku tak menghiraukan lagi perdebatan di antara keduanya. Aku mengambil seporsi makanan untuk Ardan.

"Bun, aku ke atas dulu ya."

"Buat kamu mana, Khai? Apa mau di tungguin di sini."

"Duluan aja bun, nanti aku nyusul."

Aku kembali ke atas.

Tok..tok..tok.

"Ardan, bolehkah aku masuk?" tanya ku di depan pintu kamarnya yang terbuka.

Tak ada jawaban apapun selain deheman. Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam, memberinya makanan untuk sarapan.

"Apa kau sudah baikkan, Ardan?"

Ia diam.

Matanya fokus melihat ke depan, sambil bersandar di tempat tidurnya.

Akhirnya ku taruh nampan berisi makanan itu di atas nakas yang berada di sampingnya. Aku hendak pergi dari sana, namun tangannya tiba-tiba menahanku.

"Kau menyuruhku makan sendiri." suaranya yang datar mulai terdengar.

"Aku harus apa?"

Ia melirikku sekilas dan kembali menatap depan. Oke, sepertinya aku salah, lagi.

"Apa kau mau aku suapi?" tawarku sambil meraih sepiring nasi yang berada di atas nampan.

Namun lagi-lagi ia diam.

Baiklah.

Aku mengambil sesendok nasi, lalu ku dekatkan ke mulutnya.

"Bismillah.." ucapku saat ia mau membuka mulutnya.

Rasa bahagia, menyelimuti hati. Meskipun sikapnya masih terlihat ketus, tetapi ia mau menerima perhatianku.

"Mau minum?" tawarku, dan ia menggeleng pelan.

Aku sempat memerhatikan wajahnya sejenak. Alisnya tebal, hidungnya mancung, matanya terlihat lebih indah tanpa terhalang bingkai kaca mata, serta bibir tipisnya yang saat ini terlihat pucat.

Beginikah rasanya memperhatikan setiap inci wajahnya dari dekat. Sampai-sampai aku dapat mengetahui warna bola matanya yang ternyata berwarna coklat.

Semua yang terpatri di wajahnya aku suka. Ia karya-Nya yang paling luar biasa, indah.

Tidak dosa kan jika aku memerhatikannya sebegitu dalam? Namun aku segera membuang pandang agar tak tertangkap oleh matanya yang tajam.

"Khai." aku mendongakkan kepala saat ia memanggilku seperti biasa.

"Jangan pernah mencintaiku, karena aku tak akan pernah bisa membalas perasaanmu." ucapnya pelan, namun begitu menancap dalam.

Aku diam. Ya, aku tau itu.

"Kau akan tetap menjadi sahabatku dan selamanya akan seperti itu."

Aku tersenyum getir.

Ini kah rasanya mendapatkan apa yang ku mau? Di saat ia marah, aku berharap ia tetap menganggapku sebagai sahabatnya. Lalu, di saat aku sudah mendapatkannya. Kenapa hatiku tetap kecewa? Apa karena tak ada cinta untukku?

Batinku berdecak.

"Terimakasih, kau tetap menganggapku sebagai sahabat." sambil mempertahankan senyuman yang selalu aku berikan.

Ardan mengangguk pelan. "Apa kau masih nyaman Khai tinggal di sini? Jika kau ingin pergi, aku akan berdiri di sampingmu untuk menemani."

Aku kembali mendongakkan kepala.

"Aku tergantung padamu. Jika kau nyaman, akupun sama."

"Aku sudah membeli sebuah rumah, apa kau mau ikut tinggal bersamaku di sana?"

Aku melempar senyuman lagi padanya. "Tentu." ku angkat kembali sendok yang berisi nasi, lalu dia ku suapi lagi.

"Apa kau sudah makan?"

"Aku gampang yang penting kau dulu." aku kembali menyodorkan sesendok makanan, namun kali ini ia menolaknya.

"Jika kau sakit, siapa yang akan mengurusku?"

"Kau kan dokter. Urus dirimu sendiri."

Ardan merebut piring yang sedang aku pegang.

"Ayo makan."

"Aku tidak sakit Ardan."

"Memang hanya orang sakit yang perlu makan. Kau juga berhak, jangan mendzolimi badan."

"Cepat.." terdengar tak boleh ada penolakan.

Akhirnya kita makan sepiring bersama, ia menyuap nasinya sendiri dan menyuapiku setelahnya.

Dia mulai baikkan.
Batinku senang melihatnya lahap makan.

"Apa kau sudah tidak marah padaku, Ardan?" tanyaku tanpa sadar.

"Sedikit." balasnya singkat.

"Maafkan aku--"

"Seharusnya aku yang mengucapkan kalimat itu." sergah Ardan cepat. Menyentuh tanganku lembut.

Sudah pasti aku salah tingkah.

"Maafkan aku yang sempat membuatmu takut, Khai. Aku memang tidak bisa mencintaimu seperti Rasulullah, mencintai istrinya. Namun aku akan berusaha menjadi seorang suami yang baik sampai tiba waktunya,

Waktu di mana seseorang yang menjadi jodohmu datang menjemputmu, lalu membahagiakan dirimu." Ardan tersenyum manis dan menyentuh singkat pipiku.

Bukan rasa bahagia yang menimpa, justru sentuhan itu malah kembali menimbulkan luka.

"Apa benar kau akan melepaskanku?" sesak sudah memenuhi dada, butiran kristal bening siap tumpah.

"Tentu." balas Ardan santai.

"Jika itu yang terbaik untukmu, apapun akan aku lakukan demi kebahagiaanmu. Kau sudah cukup terluka berada didekatku, Khai."

"Jika aku tau siapa lelaki yang kau harapkan, aku akan memintanya untuk mencintaimu sebaik Rasullah mencintai istrinya. Aku juga akan berbicara padanya untuk menjaga mu dan membahagiakanmu setiap waktu. Aku akan berpesan banyak hal padanya, agar kau selalu bahagia ketika bersamanya."

Kini kau sudah berbicara dengannya. Diri mu sendiri lah orangnya.

"Kau harus makan lagi, Khai. Tubuhmu itu teramat langsing."

Ardan menyuapi ku lagi.

Ya, rabb. Terimakasih telah mengembalikan senyuman dibibirnya. Aku sungguh bahagia dan aku ikhlas jika harus menjadi sahabatnya selamanya.

"Kau juga makan yang banyak. Sehabis itu minum obat."

"Baik, suster."


•••

Afwan jika masih terlalu pendek, insya Allah part selanjutnya akan lebih panjang dari ini, karena alhamdulillah aku udah punya gambaran untuk part selanjutnya.

Selamat berakhir pekan. Doakan aku lancar menulis part selanjutnya ya😹. Dan jangan lupa utamakan membaca Al-qur'an.

Jazakumullah ya Khair.

Terlatih ✓Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ