25. Tantangan Terakhir

3.4K 563 6
                                    


Iring-iringan kami jadi semakin sedikit.

Wajar saja, mengingat hanya tersisa tiga tim yang melaju ke Tantangan Terakhir. Tim-tim lain yang sudah tersisih diwajibkan kembali ke sekolah. Mereka dapat terus menonton kelanjutan Casa Poca melalui layar-layar raksasa yang sudah dipasang di lapangan sekolah.

Ketegangan di antara tim kelas sepuluh Nobel semakin memuncak seiring semakin dekatnya kami dengan arena di mana Tantangan Terakhir akan diadakan. Tak ada seorangpun yang tahu di mana tempatnya, hanya Pak Prasetyo, para juri dan beberapa anggota Dewan Pengendali yang tahu tempatnya. Mereka berada dalam sebuah Range Rover SUV yang memimpin iring-iringan kami.

Setelah berkendara selama kira-kira tiga puluh menit, kami berhenti di sebuah kawasan yang cukup sepi. Ini aneh, karena sekarang hari Senin. Tidak ada daerah di Jakarta yang sepi di hari Senin, kecuali perumahan. Tapi ini bukan di daerah perumahan.

"Aaaah!" Iswara mendesah keras. "Cerdas! Kota Tua!"

Kami berhenti di sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan putih dengan gaya arsitektur khas tempo doeloe. Aku tahu tentang daerah Kota Tua ini, meskipun baru sekarang melihatnya langsung.

"Kamu udah pernah ke sini?" tanya Carl.

"Belum," jawabku jujur. "Kalau nggak salah ini tempat wisata, kan? Kok sepi?"

"Gedung-gedung Kota Tua memang ditutup setiap Senin," Iswara memberitahu kami. "Pas banget buat Casa Poca. Tapi kira-kira di gedung yang mana, ya?"

Pak Prasetyo dan para juri turun dari mobil. Para peserta yang lain mengikuti mereka. Kami berkumpul di sekeliling Pak Prasetyo, membentuk gerombolan kecil yang tegang.

"Selamat datang di kawasan Kota Tua! Daerah ini punya nilai historis tak ternilai bagi kota Jakarta," kata Pak Prasetyo. Kepala Sekolah kami itu kelihatan bangga. "Dan selamat bagi kalian yang sudah sampai di Tantangan Terakhir ini! Dewan Pengendali sudah mengatur supaya Tantangan Terakhir untuk Casa Poca tahun ini diadakan di sini, di kawasan ini!"

Aku menatap sekeliling lapangan itu, mencari-cari keberadaan para petugas keamanan dari Dewan Pengendali. Dari pengamatanku, mereka nggak begitu pintar berbaur. Segera saja aku bisa menemukan beberapa pria dan wanita berkaos biru dan memakai topi yang berdiri agak ngumpet di sudut-sudut lapangan.

"Saat ini kita berada di depan Museum Fatahillah. Museum ini akan menjadi titik awal perjalanan kalian menaklukkan Tantangan Terakhir," lanjut Pak Prasetyo. "Baiklah, sekarang saya akan menjelaskan peraturannya. Ketiga tim yang lolos akan adu cepat untuk menemukan Trofi Casa Poca yang disembunyikan di dalam museum. Trofi itu telah dimodifikasi sedemikan rupa sehingga wujudnya tersamar menyerupai artefak-artefak lainnya yang dipajang di dalam museum, jadi letaknya bisa di mana saja. Trofi itu baru akan menampakkan wujud aslinya jika bersentuhan dengan bintang emas yang kalian pegang. Tim tercepat yang menemukan piala itu adalah pemenang Casa Poca tahun ini. Jelas?"

Kami semua saling pandang dan berseru berbarangan. "Jelas, pak."

"Tim support diizinkan untuk membantu perwakilan mereka dan memantau pergerakannya melalui kamera yang sudah dipasang di seluruh bagian museum. Tantangan Terakhir akan dimulai dalam sepuluh menit."

Kami membubarkan diri. Bu Olena mengajak kami menepi, menjauh dari Javelin dan Prima.

"Oke. Ini adalah perburuan harta karun," kata Bu Olena. Dia mengerling gugup pada Pak Gino dan Bu Nanda yang juga sementara mengatur strategi dengan tim masing-masing. "Intinya adalah kecepatan. Kalian ingat bagaimana bentuk trofi itu?"

Jelas tak ada yang lupa bagaimana bentuk trofi emas raksasa itu. Billy mengangguk-angguk mantap, aku berani taruhan dia sudah menyentuh kotak kaca si trofi sekitar seratus kali sejak benda itu dipajang di lobi sekolah.

THE NEW GIRL [SELESAI]Where stories live. Discover now