10. Ease

7.1K 1.1K 115
                                    

What will tomorrow be like?

a: Follow my dream like breaker even if it breaks down

˗ˏ 🍧 ˎ˗‍‍‍‍

Pulang sekolah ini, seluruh murid kelasku mendatangi kediaman Soobin. Ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana. Rumahnya sudah sangat ramai. Aku bahkan mendapati keberadaan Seoyeon yang tengah duduk pada salah satu kursi plastik yang terjajar di halaman.

Dalam keadaan seperti ini pun, ia masih menatapku tidak suka. Sebenarnya, otaknya di mana, sih? Aku hanya mengabaikannya.

Tanpa berpikir lagi, aku dan Minju segera masuk ke dalam rumah yang kondisinya semakin ramai karena anak-anak kelas Sanha turut mendatangi rumah ini. Tapi, aku tidak menemukan Soobin di mana pun.

"Gue harus nanya Soobin sama siapa, nih?"tanyaku ke Minju.

"Gatauuu.."

"Kamu nyariin Soobin?"tanya seorang perempuan yang wajahnya sama sekali tidak familiar, menyambung percakapan kami. "Dia di teras belakang."

"Ohh iya ya? Makasih, ya." Ternyata, dia ingin memberikanku sebuah informasi. Aku kira, dia ingin mengusirku keluar. Aku jadi suudzon gara-gara baru saja melihat Seoyeon tadi.

"Yaudah lo samperin sana. Gue di sini aja."

Aku segera menuju ke teras belakang, berjalan tanpa permisi di dalam sini. Masa bodoh. Lagi pula, tidak sedikit orang tak dikenal yang sedang lalu lalang.

Begitu keluar dari pintu, aku mendapati Soobin yang tengah berdiri membelakangiku sembari menelepon. Ia masih mengenakan seragam sekolah. Ia menoleh padaku sekilas dengan matanya yang merah layaknya baru saja menangis hebat. Uh, aku sangat tidak bisa melihat orang yang ku sayang menangis sedih begini. Aku mudah tertular.

Setelah Soobin selesai menelepon, ia mendudukkan diri pada kursi yang tersedia di teras itu. Tanpa dipersilahkan, aku duduk di sebelahnya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, menyenderkan diri seperti butuh sesuatu untuk menopang tubuhnya. Ia terlihat kacau, tidak seperti Soobin yang biasa ku lihat. Aku tidak bisa melihatnya begini.

Sekian detik berlalu, Soobin akhirnya menoleh padaku. "Boleh aku peluk kamu?"

Aku diam beberapa saat karena aku ragu. Aku takut. Tapi, tadi pun ia sudah mengapitku di ketiaknya. Tidak apa-apa, kan? Ini karena Soobin butuh, bukan untuk mengambil kesempatan.

"Sini." Aku merentangkan tanganku.

Perlahan namun pasti, Soobin merengkuh tubuhku, menghapus jarak antara tubuh kami berdua. Ia meletakkan dagunya di atas bahuku, memelukku dengan erat, seperti membutuhkan tempat untuk bersandar, seperti mencari tempat untuk dikuatkan. Jangan khawatir. Aku di sini.

Aku membalas pelukannya meskipun ragu-ragu. Sesekali aku mengusap punggungnya. Terdengar pelan suara isak tangis yang sangat dekat dengan telingaku hingga aku dapat merasakan apa yang ia rasakan.

Air mataku pun mendesak keluar. Sudah ku bilang, aku tidak pernah tega.

Setelah melewati beberapa menit penuh pilu, Soobin akhirnya melepaskan pelukannya. Ia menatap wajah basahku dengan sendu. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup pipiku dan menghapus air mataku.

"Kamu jangan nangis. Aku gapapa." Ia berbicara seolah tahu kalau aku memang mengkhawatirkannya.

"Mama lo udah dikuburin?"

"Udah tadi abis ashar. Doain mamaku, ya.."

"Iya. Pasti itu." Aku mengangguk, tanpa menyadari air mataku yang terus mengalir. Aku tidak tega melihat wajahnya yang seperti itu.

Tomorrow | Choi Soobin [REVISED][COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang