Chapter 4. Ketika tamu tak diundang muncul

26 1 0
                                    

4

"mama yang selimutin. Kamu juga, ngapain tidur dilantai. TBC entar." Dia dengan muka malas mengupas jeruk. Baru balik dinas malam dan sangat tidak tertarik untuk terlibat drama histerisnya aku yang menduga tadi malam sudah diselimutin hantu.

"semalam itu..."

"hari minggu entar lo ada acara gak ?" Begitu saja Anko memotong aku yang ingin bercerita.

"ada." Kalau Anko menanyaiku, pilihannya Cuma dua. Dia ingin memperbudakku atau dia ingin aku jadi budaknya.

"Besok, Minggu jam 10. Dandan kayak manusia. Lo ikut gue!" Anko menunjukku dengan rotinya yang sudah diberi selai. Aku bahkan perlu menunggu giliran untuk mengoles selai, entah kenapa dia pikir aku akan patuh. Lupakan kalau dia baru saja menghinaku yang sehari-harinya tak terlihat seperti manusia.

Aku menunggu di depan rumah dengan begitu sabar terlepas dari sepertinya yang menjemputku sudah sangat terlambat. Lila selalu punya cara membuatku cemas. Ribut dengan Alex membuatku tak punya pilihan selain menumpang penyihir ini.

"morning miss Kay." Sapanya terlewat ramah dan terlihat sangat girang yang mau tak mau cukup menular. Aku baru saja akan membalasnya dengan energy yang sama sampai kaca mobilnya diturunkan dengan sempurna dan aku melihat satu kepala tambahan yang duduk di kursi depan.

"KOK ADA DIA?!"

Lil merubah wajah ramahnya dengan sangat cepat sebelum berteriak agar aku masuk segara atau kami akan terlambat. Seharusnya tragedy selimut sudah bisa menjadi pertanda kalau hari ini akan berat. Sepagi ini aku sudah bertemu makhluk ini.

Aku bahkan menolak mengolongkannya sebagai spesies yang sama denganku.

"hari ini mobil Gilang bannya pecah. Sebagai tetangga yang baik masa gue tega lewat gitu aja. Lo tau kan, jam segini taxi itu susah. Sebagai sesama pelajar, kita tuh harus saling tolong menolong Kay."

"sejak kapan dia berubah jadi sebaik ini om?" supirnya Lila, om Iwan hanya memberikan senyum manisnya. Terlalu bosan menyimak obrolan anak SMA kami ini.

Blah... blah... Lila berusaha menjelaskan sesuatu yang bahkan tak kutanyakan. Sementara orang yang dia claim baru saja ditolong itu, Cuma tetap konsentrasi penuh pada komik yang sedang dibacanya. Sumpah. Aku baru kali ini melihat ada orang baca One Piece tanpa ekspresi. Bagaimana bisa? Dia jelas tak punya sel manusia.

Dan cowok kayak gini digilai satu sekolah. Unbelievable.

Saat aku menatap spion tengah, dia sedang menatapku. Entah kenapa dia sepertinya bisa membaca semua makian yang baru kukatakan. Seperti, bagaimana dia tak terlihat seperti bernafas dan kemungkinan kalau dia sepertinya hidup dengan menghisap teriakan para perawan.

Tak mau kalah, aku Cuma balas menatapnya.

"lo tahu gak Gil?" ujarku sambil sekalian berbalik menghadapnya. Well, aku senang karena dia terlihat kaget aku tiba-tiba mengajaknya bicara langsung. "gak tahu aura apa yang ada ama lo. Kok gue bisa gak suka banget ya sama lo?"

Bahasa halusnya, benci.

Dia tak mungkin mengira aku akan menyatakan kebencian lebih dari semua hal. Begitu juga Lila. Aku mendengar nafasnya yang tercekat. Tapi belum sempat siapapun diantara kami mengambil sikap, letusan ban mobil Lila terdengar bak bom molotop. Kencang dan sangat mengerikan untuk terjadi.

DARRR...!! Teriakan dan rem tiba-tiba.

"kenapa nih?!" tanya Lila kaget.

"bannya pecah," ujar om Iwan selow.

Another EngagementOn viuen les histories. Descobreix ara